HAJI Dal menghembuskan asap kreteknya. Di beranda. Gelisah. Sudah tiga kali menunaikan ibadah ke Tanah Suci, tapi masjid di Kampung Dadap selalu saja sepi. Setiap salat Jumat shaf-shaf senantiasa kosong, terlebih pada hari-hari biasa. Lengang. Padahal, tak bosan-bosan, bersama Abah Haji Jamhur dan Surip, mengajak setiap orang untuk memakmurkan masjid Al Manzilah (nama ini diilhami oleh posisi Kampung Dadap yang diapit dua bukit), minimal setiap Jumat. Nihil. Tidak ada muka lain kecuali mereka bertiga di dalamnya, meski pengeras suara sudah diarahkan ke segenap penjuru mata angin, mengumandangkan azan pada tiap-tiap waktu salat.
Mulanya Haji Dal mengira, semakin sering dirinya pergi haji, orang-orang akan semakin tertarik untuk datang ke masjid. Haji Dal mengusap muka. Munafik. Selama ini ia telah melakukan dosa teramat besar. Menganggap haji adalah jabatan yang bisa dijadikan alat untuk memengaruhi orang-orang. Termasuk hartanya yang banyak dikeluarkan, semuanya mengandung pamrih. Bergidik Haji Dal membayangkan azab Allah yang teramat pedih. Segera ia berwudu.
Tekadnya, semua dosa harus ditebus. Ia berjanji, musim haji tahun ini akan berangkat lagi. Bukan untuk takabur, tapi untuk sebuah rencana besar dan berat, menyangkut kelangsungan hidup orang-orang di Kampung Dadap. Tak ada yang akan diberi tahu, juga Abah Haji Jamhur, gurunya yang telah sepuh. Hanya kepada Surip.
Ya, Surip. Kepadanya ia sangat percaya. Pembantu paling jujur yang pernah ditemui. Muazin fasih yang mengurusi segala kebutuhan hidup sehari-hari, setelah istri Haji Dal meninggal ketika wabah malaria mengganas di Kampung Dadap. Sedangkan anak, Haji Dal tak punya.
**
BEGITULAH Orang-orang Kampung Dadap selalu bergunjing. Terkagum-kagum memuji keberuntungan Haji Dal. Meski tak sekalipun datang ke masjid, haji adalah pangkat impian mereka. Memakai peci putih dengan harum zakfaron. Ke mana-mana mengurai tasbih berselendang sorban. Mustahil, kecuali Jibril salah alamat atau Roqib dan Atid lupa menghitung. Sejak dulu selalu begitu. Mereka memang bodoh. Meski fatwa seorang haji adalah hukum, tapi bukan hukum untuk datang ke masjid. Mendengar masjid mereka akan alergi, gatal-gatal, dan demam tinggi. Sebenarnya, Haji Dal merasa tidak enak juga jika terus-terusan pergi haji. Seolah hanya dirinya yang mampu melakukan itu. Terutama pada Abah Haji Jamhur yang berulangkali menasihati agar biaya pergi haji itu lebih baik diberikan kepada yang lebih membutuhkan. Berbagi rezeki, kebahagiaan dan kemuliaan. Tapi siapa yang layak menerima? Orang-orang itu? Mana mungkin? Mereka memusuhi masjid. Kecuali Surip. Sayangnya, Surip selalu menolak tawaran untuk naik haji. Belum saatnya, selalu ia bilang begitu. Suatu saat mungkin sampai, katanya.
Tapi keputusan ini harus ditetapkan. Jika kedua tangannya sudah tak mampu lagi memperbaiki orang-orang, kenapa semuanya tidak dikembalikan kepada tangan mereka sendiri? Tekad Haji Dal sudah bulat, ia harus berani menantang risiko. Berat memang, terutama buat Surip yang akan dipercayainya.
Akan halnya di mata orang-orang Kampung Dadap, Haji Dal adalah panutan. Bukan semata karena sudah haji tiga kali, tapi mereka tak bisa menutup mata pada segala sesuatu yang telah mereka terima. Tak seorang pun yang datang ke rumah Haji Dal pulang dengan tangan hampa. Mereka meminjam uang untuk beli pupuk, alat-alat pertanian sampai kebutuhan hidup sehari-hari. Haji Dal tak segan memberikan pinjaman. Bahkan tak jarang merelakannya tanpa kembali. Orang-orang takjub. Haji Dal benar-benar memukau. Ia seorang dermawan sejati.
Itulah sebabnya, seluruh sawah, peternakan maupun ikan-ikan di kolam milik Haji Dal senantiasa aman dari ta-ngan-tangan penjarah atau maling pengganggu. Orang-orang Kampung Dadap akan dengan sigap menjaga dan membela segala sesuatu yang berhubungan dengan Haji Dal. Mereka berhutang budi. Tak ada iri, dengki apalagi menyimpan dendam. Tak ada celah untuk berbuat jahat atau khianat. Kecuali kepada masjid, mereka tak merasa berutang.
Hingga satu minggu menjelang keberangkatan Haji Dal, mereka sibuk mendirikan tarub. Ruangan di dalam rumah ternyata tidak cukup untuk menampung orang sekampung. Seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka akan mengaji selama satu minggu penuh. Mendoakan keselamatan dan kesejahteraan Haji Dal. Tak peduli mereka bisa mengaji atau tidak. Yang penting kumpul. Yang penting pulangnya bisa membawa berkat.
Mereka bersukacita, karena selama satu minggu tak perlu lagi mencangkul di ladang. Bingkisan bahan pangan dan sejumlah uang setiap habis mengaji, sudah lebih dari cukup untuk dimakan seluruh keluarga. Ibarat panen, mereka berbondong-bondong menghadiri kesempatan mahal ini.
TIBALAH orang-orang berkumpul. Abah Haji Jamhur memimpin bacaan surat Yaasin, orang-orang menggeremang. Surip khusyuk mengeja huruf-huruf Alquran. Di kamar, Haji Dal tepekur. Airmatanya menetes membasahi sorban yang melingkar di lehernya. Inilah saat paling mendebarkan, sebelum ia benar-benar merelakan semuanya kepada Yang Maha Kuasa. Sementara di sudut yang agak remang, sekelompok pemuda membentuk lingkaran. Kartu-kartu remi dan domino dibagikan mengiringi alunan ayat-ayat suci.
Pada malam terakhir, Haji Dal berkenan menyampaikan sambutan. Ia akan pergi haji sekalian mempelajari ilmu agama selama sepuluh tahun di Mekah. Dan harta Haji Dal akan dititipkan kepada masyarakat Kampung Dadap, yang pengurusannya diserahkan kepada Abah Haji Jamhur. Hening. Napas-napas memburu. Kerongkongan tercekat. Hampir terhenti. Pemuda-pemuda yang bermain kartu terpaku. Mereka tak mengira. Takzim. Sedetik bersorak, menyambut bulan jatuh dari langit. Berbunga-bunga, khas orang kampung. Berbisik-bisik. Sepuluh tahun sudah cukup untuk membuat mereka menjadi haji. Mereka akan melakukan apa saja. Penuh. Kecuali Abah Haji Jamhur yang berkerut kening. Ia merasakan sesuatu yang ganjil.
"Kenapa harus aku?"
"Abah yang memelihara masjid. Abah pula satu-satunya keturunan pertama pendiri kampung ini yang masih hidup."
"Apa bedanya dengan Surip?"
"Surip belum haji."
Ya. Surip belum haji. Apalagi ia cuma pembantu. Jongos yang dipandang sebelah mata oleh orang-orang Kampung Dadap. Ia juga tidak dilahirkan di kampung itu. Dan, meski rajin ke masjid, Surip bukan haji. Titik.
**
DAN gemuruh iring-iringan Haji Dal, disertai isak tangis membelah kampung. Tua-muda, besar-kecil, melepas kepergian panutan yang dicintai. Dermawan bersahaja yang merelakan hartanya untuk kemakmuran umat. Berduyun-duyun menyusuri jalan setapak licin. Melepas ksatria ke medan perang. Mungkin ia akan kembali atau tidak sama sekali. Menempuh jalan lurus untuk mati. Sementara di sini, orang-orang akan terus menanti kabar suka cita. Labbaika Allahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik. Abah Haji Jamhur berjalan paling depan memimpin takbir, tahlil, dan tahmid, persis di belakang Haji Dal yang digandeng Surip. Berjalan perlahan menuju jalan besar di ujung kampung. Menurun berkelok hingga Haji Dal masuk ke dalam mobil carteran, meninggalkan tanah kelahirannya yang sulit ia pahami.
Kampung Dadap kembali sepi, setelah satu minggu digetarkan oleh suara-suara orang mengaji. Tinggallah Abah Haji Jamhur tepekur. Sendiri. Ia tak habis pikir dengan keputusan Haji Dal. Bagaimana mungkin membagikan seluruh harta, meski hanya untuk sementara, pada orang-orang yang jelas-jelas memusuhi masjid? Amanat itu teramat berat. Kalau saja ia boleh memilih, lebih baik memindahkan sebuah gunung daripada harus memikul tanggungjawab yang bisa membuatnya berlaku tidak adil. Namun ia tidak boleh khianat. Semua rata dibagikan, tak tersisa.
Allah Maha Pemurah. Abah Haji Jamhur terhindar fitnah. Beliau wafat, setelah satu bulan keberangkatan Haji Dal ke Tanah Suci. Innalillahi wa innailaihi raajiuun.
Abah Haji Jamhur bercahaya di pangkuan Surip. Meninggalkan masjid Al Manzilah yang sangat dicintainya. Sesuai amanat terakhir Abah Haji Jamhur, Surip menjadi imam masjid. Surip khusyuk mengurus masjid. Mengumandangkan azan tak pernah bosan. Menjadi imam untuk dirinya sendiri. Sendiri! Begitulah setiap waktu. Hingga tahun-tahun berlalu, tak ada perubahan di Kampung Dadap. Orang-orang gelisah. Tapi bukan gelisah karena masjid yang selalu sepi. Sepuluh tahun hampir menjelang. Dan mereka harus segera mengembalikan semua harta yang dititipkan. Mereka khawatir kemiskinan kembali mencengkeram. Masjid semakin jauh.
Surip pasrah. Apapun yang terjadi, amanat itu harus dijalaninya. Meski perih berdarah-darah, tak layak ia berkeluh. Hanya satu permintaannya, orang-orang Kampung Dadap dibukakan pintu hatinya. Sampai waktu merambat, sepuluh tahun telah lewat. Orang-orang semakin gelisah. Mereka mendatangi Surip, meminta kejelasan tentang Haji Dal dan harta yang dititipkan. Mereka berembug berhari-hari. Akhirnya sepakat disimpulkan, Haji Dal telah syahid. Dan harta itu?
Semua usul, semua punya rencana. Membangun jalan, listrik, membeli motor, mobil, radio, televisi. Kampung Dadap memang terlalu jauh dari kota. Tapi yang paling penting, andai harta itu menjadi milik mereka. Surip mengurut dada. Masjid telah lama menjadi kuburan. Berbulan-bulan berbilang tahun. Sampai wajah semakin tua, kulit-kulit semakin keriput, rambut-rambut memutih, bayi-bayi lahir menderas. Namun tak jua orang-orang memakmurkan masjid.
Hingga Surip mengembuskan napas terakhir, ketika bersujud di dalam mihrab. Menunggu. Penantian menjemput ajal paling sempurna. Pada selembar kertas di bawah sajadah terdapat tulisan, penduduk Kampung Dadap dianjurkan pergi haji dengan harta Haji Dal yang telah sah menjadi milik mereka.
Tapi rasa heran orang-orang Kampung Dadap tak menemukan jawaban, karena selain kertas di bawah sajadah, mereka juga menemukan tasbih, sorban, sarung, dan gamis yang tersimpan rapi di dekat mihrab, yang mereka kenal betul pakaian itu biasa dikenakan oleh Haji Dal.
Dengan setumpuk kecemasan, mereka berusaha bangun dari mimpi. Orang-orang Kampung Dadap pergi haji. Sementara anak-anak yang ditinggalkan, menunggu kembalinya orang tua mereka sambil bermain kartu di teras-teras rumah, bertaruh uang recehan. Tak ada yang bisa mereka kerjakan selain berjudi, karena sawah, ladang, kebun, peternakan, dan kolam ikan sudah digadaikan orangtua mereka kepada para tengkulak dari kota. ***
Cirebon , Januari 2006
by ; ceritaindonesia.angelfire.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar