Pages

Minggu, 24 April 2011

Karena sebutir korma

Hanya Kerana sebutir kurma
Selesai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke mesjidil Aqsa.
Untuk bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat mesjidil Haram.
Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak didekat timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan memakannya.
Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa. 4 Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat beribadah pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali. Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
"Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan ALLAH SWT," kata malaikat yang satu.
"Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena 4 bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat mesjidil haram," jawab malaikat yang satu lagi..
Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh ALLAH SWT gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya.
"Astaghfirullahal adzhim" Ibrahim beristighfar.
Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma. Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.
Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. "4 bulan yang lalu saya membeli kurma disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang ?" tanya Ibrahim.
"Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma" jawab anak muda itu.
"Innalillahi wa innailaihi roji'un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan ?". Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat.
"Nah, begitulah" kata ibrahim setelah bercerita, "Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa izinnya?".
"Bagi saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang.
Saya tidak berani mengatas nama kan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya." "Dimana alamat saudara-saudaramu ? biar saya temui mereka satu persatu."
Setelah menerima alamat, ibrahim bin adham pergi menemui. Biar berjauhan, akhirnya selesai juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh ibrahim.
4 bulan kemudian, Ibrahim bin adham sudah berada dibawah kubah Sakhra.
Tiba tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap.
"Itulah ibrahim bin adham yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain."
"O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu.. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain.
Sekarang ia sudah bebas."
Pada hadits yang lain beliau bersabda; 'Siapa yang merampas hak orang Islam dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkannya masuk surga. Seorang laki-laki bertanya, walaupun sedikit ya Rasulullah? Nabi menjawab, walaupun sebatang kayu sugi.'
(Riwayat Muslim).

8x3=23

Yan Hui adalah murid kesayangan Confusius yang suka belajar, sifatnya baik. Pada suatu hari ketika Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu toko kain sedang dikerumunin banyak orang. Dia mendekat dan mendapati pembeli dan penjual kain sedang berdebat.
Pembeli berteriak: "3x8 = 23, kenapa kamu bilang 24?

"Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata: "Sobat, 3x8 = 24, tidak usah diperdebatkan lagi".

Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung Yan Hui dan berkata: "Siapa minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke Confusius. Benar atau salah Confusius yang berhak mengatakan".

Yan Hui: "Baik, jika Confusius bilang kamu salah, bagaimana?"

Pembeli kain: "Kalau Confusius bilang saya salah, kepalaku aku potong untukmu. Kalau kamu yang salah, bagaimana?"

Yan Hui: "Kalau saya yang salah, jabatanku untukmu".

Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi mencari Confusius. Setelah Confusius tahu duduk persoalannya, Confusius  berkata
kepada Yan Hui sambil tertawa: "3x8 = 23. Yan Hui, kamu kalah. Kasihkan jabatanmu kepada dia." Selamanya Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya. Ketika mendengar Confusius bilang dia salah, diturunkannya topinya lalu dia berikan kepada pembeli kain.

Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu dengan puas.Walaupun Yan Hui menerima penilaian Confusius tapi hatinya tidak sependapat. Dia merasa Confusius sudah tua dan pikun sehingga dia tidak mau lagi belajar darinya. Yan Hui minta cuti dengan alasan urusan keluarga. Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya. Sebelum berangkat, Yan Hui pamitan dan Confusius memintanya cepat kembali setelah urusannya selesai, dan memberi Yan Hui dua nasehat : "Bila hujan lebat, janganlah berteduh di bawah pohon. Dan jangan membunuh."

Yan Hui bilang baiklah lalu berangkat pulang.

Di dalam perjalanan tiba2 angin kencang disertai petir, kelihatannya sudah mau turun hujan lebat. Yan Hui ingin berlindung di bawah pohon tapi tiba2 ingat nasehat Confusius dan dalam hati berpikir untuk menuruti kata gurunya sekali lagi. Dia meninggalkan pohon itu. Belum lama dia pergi, petir menyambar dan pohon itu hancur. Yan Hui terkejut, nasehat gurunya yang pertama sudah terbukti.

Apakah saya akan membunuh orang? Yan Hui tiba dirumahnya sudah larut malam dan tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Dia menggunakan pedangnya untuk membuka kamarnya. Sesampai didepan ranjang, dia meraba dan mendapati ada seorang di sisi kiri ranjang dan seorang lagi di sisi kanan. Dia sangat marah, dan mau menghunus pedangnya. Pada saat mau menghujamkan pedangnya, dia ingat lagi nasehat Confusius, jangan membunuh. Dia lalu menyalakan lilin dan ternyata yang tidur disamping istrinya adalah adik istrinya.

Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke Confusius, berlutut dan berkata: "Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?"

Confusius berkata: "Kemarin hari sangatlah panas, diperkirakan akan turun hujan petir, makanya guru mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah pohon. Kamu kemarin pergi dengan amarah dan membawa pedang, maka guru mengingatkanmu agar jangan membunuh".

Yan Hui berkata: "Guru, perkiraanmu hebat sekali, murid sangatlah kagum."

Confusius bilang: "Aku tahu kamu minta cuti bukanlah karena urusan keluarga. Kamu tidak ingin belajar lagi dariku. Cobalah kamu pikir. Kemarin guru bilang 3x8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan jabatanmu. Tapi jikalau guru bilang 3x8=24 adalah benar, si pembeli kainlah yang kalah dan itu berarti akan hilang 1 nyawa. Menurutmu, jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa yang lebih penting?"

Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata : "Guru mementingkan yang lebih utama, murid malah berpikir guru sudah tua dan pikun. Murid benar2 malu."

Sejak itu, kemanapun Confusius pergi Yan Hui selalu mengikutinya.

Cerita ini mengingatkan kita:

Jikapun aku bertaruh dan memenangkan seluruh dunia, tapi aku kehilangan kamu, apalah artinya.

Dengan kata lain, kamu bertaruh memenangkan apa yang kamu anggap adalah kebenaran, tapi malah kehilangan sesuatu yang lebih penting.

Banyak hal ada kadar kepentingannya. Janganlah gara2 bertaruh mati2an untuk prinsip kebenaran itu, tapi akhirnya malah menyesal, sudahlah terlambat.

Banyak hal sebenarnya tidak perlu dipertaruhkan. Mundur selangkah, malah yang didapat adalah kebaikan bagi semua orang.

Bersikeras melawan pelanggan. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga.

Bersikeras melawan atasan. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga.

Bersikeras melawan suami. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga.

Bersikeras melawan teman. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga

Kemenangan bukanlah soal medali, tapi terlebih dulu adalah kemenangan terhadap diri dan lebih penting kemenangan di dalam hati.

BE A WINNER!

by ; bungacerita.blogspot.com

Jerry Positive Thinking

Jerry is the kind of guy you love to hate. He is always in a good mood and always has something positive to say. When someone would ask him how he was doing, he would reply, "If I were any better, I would be twins!" He was a unique manager because he had several waiters who had followed him around from restaurant to restaurant.
The reason the waiters followed Jerry was because of his attitude. He was a natural motivator. If an employee was having a bad day, Jerry was there telling the employee how to look on the positive side of the situation.
Seeing this style really made me curious, so one day I went up to Jerry and asked him, I don't get it! You can't be a positive person all of the time. How do you do it?" Jerry replied, "Each morning I wake up and say to myself, Jerry, you have two choices today. You can choose to be in a good mood or you can choose to be in a bad mood.
I choose to be in a good mood. Each time something bad happens, I can choose to be a victim or I can choose to learn from it. I choose to learn from it. Every time someone comes to me complaining, I can choose to accept their complaining or I can point out the positive side of life. I choose the positive side of life.
"Yeah, right, it's not that easy," I protested. "Yes, it is," Jerry said. "Life is all about choices. When you cut away all the junk, every situation is a choice. You choose how you react to situations. You choose how people will affect your mood. You choose to be in a good mood or bad mood. The bottom line: It's your choice how you live life."
I reflected on what Jerry said. Soon thereafter, I left the restaurant industry to start my own business. We lost touch, but I often thought about him when I made a choice about life instead of reacting to it.
Several years later, I heard that Jerry did something you are never supposed to do in a restaurant business: he left the back door open one morning and was held up at gun point by three armed robbers. While trying to open the safe, his hand, shaking from nervousness, slipped off the combination. The robbers panicked and shot him. Luckily, Jerry was found relatively quickly and rushed to the local trauma center. After 18 hours of surgery and weeks of intensive care, Jerry was released from the hospital with fragments of the bullets still in his body.
I saw Jerry about six months after the accident. When I asked him how he was, he replied, "If I were any better, I'd be twins. Wanna see my scars?" I declined to see his wounds, but did ask him what had gone through his mind as the robbery took place. “The first thing that went through my mind was that I should have locked the back door," Jerry replied. "Then, as I lay on the floor, I remembered that I had two choices: I could choose to live or I could choose to die. I chose to live."
"Weren't you scared? Did you lose consciousness?" I asked. Jerry continued, "...the paramedics were great. They kept telling me I was going to be fine. But when they wheeled me into the ER and I saw the expressions on the faces of the doctors and nurses, I got really scared. In their eyes, I read 'he's a dead man.'
I knew I needed to take action." " What did you do?" I asked. "Well, there was a big burly nurse shouting questions at me," said Jerry. "She asked if I was allergic to anything. 'Yes,' I replied. The doctors and nurses stopped working as they waited for my reply. I took a deep breath and yelled, 'Bullets!' Over their laughter, I told them, 'I am choosing to live. Operate on me as if I am alive, not dead.'"
Jerry lived thanks to the skill of his doctors, but also because of his amazing attitude. I learned from him that every day we have the choice to live fully. Attitude, after all, is everything.

Sumber : http://wisdomlanddhi.blogspot.com

Senin, 18 April 2011

Sebungkus Cinta Untuk Alenda

Cerita Pendek Ahmadun Y Herfanda
Nasi dan obat mag ini harus sampai kepada Alenda secepatnya, tekad Nadia. Bagi gadis PMI ini sebungkus nasi dan obat mag di dalam tas plastik hitam itu ibarat "sebungkus cinta sejati" yang harus sampai kepada Alenda Rosi seutuhnya. Dan, itulah janjinya kepada pemuda yang terkena mag akut dan sedang terbaring di salah satu ruangan di dalam Gedung MPR itu.
Tapi, bagaimana caranya, pikir Nadia. Gedung MPR sudah diblokade pasukan antihuru hara dengan pagar betis, truk-truk dan jeep militer. Bahkan, ada beberapa panser dan mobil anti huru hara yang dilengkapi 'meriam air' yang tampak begitu provoktif di mata gadis itu. "Ini benar-benar berlebihan. Mereka seperti menghadapi pemberontak saja," gumamnya.
Nadia sendiri terjebak di tengah aksi unjuk rasa tidak jauh dari Gedung MPR. Dan, keadaan benar-benar menjadi kacau ketika aparat keamanan berusaha keras membubarkan para pengunjuk rasa. Sambil merangsek ke arah para demonstran dengan tameng dan pentungan, aparat keamanan menyemprotkan air, gas air mata, dan desingan peluru-peluru karet ke arah mereka.
Konsentrasi para demonstran pun menjadi porak-poranda. Dan, sial bagi Nadia, ia tertabrak-tabrak para demonstran sampai terjengkang ke pinggir jalan raya, sehingga kantung plastik berisi nasi dan obat mag di tangannya terpental ke aspal. Sambil meringkuk di atas aspal, ia cepat-cepat melindungi kepalanya dengan kedua telapak tangannya dari injakan kaki-kaki yang berlarian kalang kabut.
Dalam ketakutan yang belum reda, tiba-tiba tendangan sepatu mendarat ke tubuh gadis itu. Ketika ia membuka wajahnya dan menengok ke belakang, seorang aparat keamanan sudah berdiri tegak di dekat punggungnya. "Ayo, bangun!" perintah sang aparat sambil melotot dan mengangkat pentungan.
Nadia cepat-cepat bangun dengan tubuh agak gemetar. Sang aparat segera menggantungkan pentungan di pinggangnya, dan memanfaatkan tangannya untuk mencengkeram lengan gadis itu. "Ikut saya!" katanya.
Nadia panik dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sepintas ia ingat sebungkus nasi dan obat mag di dalam kantung plastik hitam yang tadi dibawanya. Ia mencari-cari dengan matanya, dan menemukan kantung plastik hitam itu tergeletak di tengah jalan raya.
"Nasi saya, Pak! Tolong nasi saya! Ada yang sakit mag. Harus segera diberi nasi dan obat. Jika tidak, bisa mati!" kata Nadia pada aparat keamanan itu. Tapi sang aparat tidak peduli dan terus menyeretnya.
Dalam kepanikan, Nadia sempat melihat, seorang demonstran berjaket kuning kumal digebuk berkali-kali dengan pentungan karet oleh dua anggota pasukan anti huru hara dan dipaksa masuk ke truk polisi. Khawatir akan bernasib serupa, ia buru-buru berkata, "Lepaskan saya, Pak! Saya bukan demonstran! Saya anggota PMI. Lihat ini di lengan saya ada tanda palang merah!"
"Nggak bilang dari tadi! Brengsek!" anggota PHH itu melepaskan Nadia, sambil mengomel dan mendorong gadis itu agak keras.
Nadia sempoyongan akibat dorongan itu. Ia menabrak seorang aparat keamanan berpakaian hitam-hitam dan bertopi seperti cowboy , yang langsung memelototinya, dan menodongkan senapan otomatis padanya. Gadis itu minta maaf sambil membungkuk-bungkuk. "Maaf, maaf, Pak, tidak sengaja. Saya bukan demonstran. Saya anggota PMI, mau menolong yang terluka!"
"Kopral, biarkan dia pergi!" teriak seorang aparat yang berpakaian sama. Mungkin ia komandannya.
Aparat yang tertabrak tadi menghentikan todongan senjatanya. Nadia lantas berjalan tertatih-tatih. Matanya jelalatan mencari-cari sebungkus nasi dalam kantung plastik hitam tadi. Jalannya agak terpincang-pincang, mungkin telapak kakinya yang terbungkus sepatu cat hitam lecet, atau pergelangan kakinya terseleo.
Di tengah situasi kacau balau seperti itu sebungkus nasi menjadi barang langka bagi Nadia. Nasi itu ia beli dengan susah payah, dan itu adalah stok terakhir dari sebuah kantin di stasiun TVRI Pusat. Sementara peluhun penjaja nasi lain sudah kehabisan stok, atau sengaja menutup warungnya karena khawatir akan terjadi kerusuhan. Karena itu, Nadia berusaha keras untuk menemukan kembali kantung plastik hitam berisi sebungkus nasi dan obat mag tersebut.
Setelah berusaha keras, ia temukan juga kantung plastik hitam itu, persis di bawah jembatan layang Taman Ria Senayan. Ia bermaksud mengambilnya, tapi sepeleton aparat keamanan bergerak cepat, dan dengan langkah-langkah bergedebum menggilas kantung plastik itu. '' Astaga! '' teriak gadis itu sambil melongo dan mengusap dadanya.
Selewat tragedi kecil itu, gadis yang di dadanya tertempel nama Nadia Marhastuti itu buru-buru berlari kecil ke tengah jalan dan memungut kantung plastik hitam tersebut. Begitu kembali ke pinggir jalan, ia memeriksa isi kantung itu. Ia terbelalak, bungkusan nasi itu telah benar-benar gepeng seperti dilindas buldoser. Tapi, ajaibnya, kertas pembungkus dan kantung plastiknya sama sekali tidak robek. Begitu juga sekaplet obat magnya, masih utuh.
Sambil menenteng kantung plastik hitam itu, Nadia lantas berlari tertatih-tatih ke arah Gedung MPR. Tapi, sebuah barikade pagar betis berlapis, PHH, dan pasukan Kostrad, menghadangnya tidak jauh dari pintu masuk gedung MPR. Tampak pula beberapa panser, mobil pemadam kebakaran, dan truk-truk militer yang hidungnya dilengkapi perisai berlapis kawat berduri.
Nadia merasa keder dan ragu, bagaimana bisa menembus barikade yang luar biasa ketat tersebut. Pikirannya kembali melayang kepada Alenda, yang pasti sedang menunggunya dengan cemas sambil sesekali memegang perut dan meringis kesakitan. Tidak hanya obat antimag yang harus disuapkan ke mulutnya, tapi juga sebungkus nasi, roti, atau apa pun, yang dapat mengisi lambungnya yang kosong. "Ya Tuhan, berilah kekuatan padanya," doanya dalam hati.
*
Sudah tiga hari Alenda Rosi menginap di Gedung MPR, ikut meneriakkan reformasi untuk menumbangkan rezim otoriter yang dinilainya korup. Dan, karena bersemangatnya, ia lupa makan, sehingga penyakit magnya kambuh. Sialnya, perbekalan kelompoknya habis dan suplai makanan dari LSM terlambat. Maka, tergeletaklah ia sambil sesekali memegang perutnya dan meringis-ringis kesakitan.
"Tenanglah, Alenda. Aku berjanji segera kembali dengan nasi dan obat mag untukmu," kata Nadia ketika itu, mencoba menenangkan kegelisahan sang demonstran, kekasihnya itu.
Ingat janji dan penderitaan pacarnya itu, semangat Nadia berkobar lagi. Ia mencoba mendekati seorang anggota PHH dan minta agar diizinkan masuk ke komplek Gedung MPR. "Saya anggota PMI, Pak. Lihat ini tandanya! Ada kawan yang harus segera ditolong di dalam! Mohon saya diperbolehkan masuk!" katanya.
''Siapapun tidak boleh masuk! Cepat menyingkir dari sini!'' jawab anggota PHH itu, tegas.
"Aduh, kasihan kawan saya, Pak! Kalau tidak segera ditolong, dia bisa mati! Boleh ya, Pak, saya masuk?" gadis itu merajuk lagi.
"Sudah saya katakan, siapapun tak boleh masuk! Cepat menjauh dari sini! Atau mau kutembak?" kali ini anggota PHH itu menodongkan pistol ke jidat Nadia. Ia tidak tahu, isi pistol itu peluru karet atau peluru beneran . Sepintas ia ingat, sering ada demonstran yang terkena peluru beneran . "Kalaupun isi pistol itu peluru karet, bisa benjol juga jidatku kena tembak dari jarak dekat begini," pikirnya.
Nadia keder juga mengingat itu. Bagaimanapun, ia tidak ingin mati konyol terkena peluru aparat keamanan, atau pingsan dengan jidat benjol. Ia pun terpaksa mundur, agak menjauh dari barikade itu. Ia mencari akal, menunggu kesempatan, untuk dapat masuk secara paksa. Tidak lama kemudian muncul arak-arakan mahasiswa dari arah Semanggi, bukan hanya ratusan, tapi ribuan. Naga-naganya mereka akan merangsek masuk ke komplek gedung MPR. Ada kabar beredar, mahasiswa akan menguasai gedung wakil rakyat itu.
Nadia melihat ada kesempatan untuk ikut merangsek masuk. Dan, betul juga. Meskipun sudah diperingatkan melalui pengeras suara agar tidak mendekat, barisan ribuan demonstran itu terus merangsek barikade tentara. Bentrok antara aparat keamanan dan demonstran pun tidak bisa dihindari lagi. Bunyi senapan otomatis berletusan dari aparat, dibalas hujan batu dari para demonstran. Gas air mata berkali-kali dilemparkan. Meriam air pun tidak henti-henti ditembakkan ke arah para demonstran. Mereka kocar-kacir. Ada yang bertiarap. Ada yang mengambil langkah seribu. Ada yang terjungkal terkena peluru. Ada yang terkena pentung bertubi-tubi, lalu tergeletak ke aspal. Tapi, banyak juga yang berhasil lolos masuk ke komplek gedung MPR.
Nadia benar-benar memanfaatkan kesempatan itu untuk ikut lolos ke dalam. Ia ikut merangsek barikade aparat keamanan. Tapi, belum sampai melewati pintu gerbang kompleks Gedung MPR, seorang anggota PHH menjegal kakinya, dan pentungan karet bertubi-tubi memukul punggungnya. Ia jatuh terguling ke aspal dan kantung plastik hitamnya pun terpental lagi ke jalan raya. Kali ini nasibnya lebih sial, tubuhnya terinjak-injak puluhan kaki mahasiswa yang berlarian tidak tentu arah, dalam kepulan gas air mata dan hajaran meriam air.
Berkali-kali Nadia mencoba bangkit, tapi berkali-kali kembali terguling karena diterjang orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri. Akhirnya ia hanya bisa melindungi kepalanya dengan kedua lengannya, kemudian memejamkan matanya. Dan, yang terakhir ia rasakan adalah ratusan sepatu bergantian menginjak-injak perut dan dadanya, lalu ribuan kunang-kunang menari di matanya, dan kegelapan total memerangkap kesadarannya.
*
Nadia tidak tahu berapa jam ia pingsan. Ketika kesadarannya pulih, bentrok antara aparat dan demonstran telah reda. Hari sudah gelap dan suasana jalan di depan kompleks Gedung MPR pun sudah agak lengang. Ingatannya langsung terbawa pada sebungkus nasi dan obat mag di dalam kantung plastik hitam serta wajah cemas Alenda yang menunggunya di salah satu sudut gedung MPR. Dengan matanya ia pun mencari-cari kantung plastik hitam itu. Dan, sekitar lima meter dari tempatnya terbaring, dalam terpaan cahaya lampu merkuri, tampak bayang-bayang onggokan kantung plastik hitam yang kedua ujungnya melambai-lambai diterpa angin malam.
Saat itulah, tidak jauh dari sang gadis tersaji pemandangan yang cukup menakjubkan. Kantung plastik hitam itu tergeletak di tengah jalan raya, persis di depan gerbang masuk komplek Gedung MPR. Sementara, di latar belakang kantung plastik itu, di pintu gerbang tersebut, tampak puluhan tentara berderet dalam dua lapis. Dua panser dan satu truk PHH juga tampak siaga di kanan kiri gerbang.
Di tengah suasana jalan yang sudah lengang dari hiruk pikuk demonstrasi, sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam itu seperti menjadi 'aktor politik' yang sangat penting, yang memiliki kekuatan subversif untuk meruntuhkan kekuasaan. Seakan, hanya untuk mengawasi sebungkus nasi itulah puluhan tentara bersiaga di pintu gerbang, agar sang nasi tidak dapat menyusup masuk ke kompleks Gedung MPR. Nadia membayangkan, seandainya ia nekat merangkak untuk mengambil nasi itu, mungkin akan disambut berondongan tembakan senapan otomatis, lemparan bom gas air mata, atau tembakan meriam air dari mobil PHH.
Dalam perasaan kecut, Nadia tetap mencoba untuk bangkit. Tapi, ia merasa tidak punya sisa kekuatan lagi, bahkan hanya untuk mengangkat kepalanya sekalipun. Seluruh tubuhnya - yang basah kuyup - terasa pegal dan nyeri. Dan, rasa yang paling nyeri ada di bawah dada dan selangkangannya. Mungkin tulang rusuknya patah terinjak sepatu tentara, dan kemaluannya memar karena tergencet sepatu juga.
Namun, gadis itu tidak putus asa begitu saja. Ia mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Ia mencoba bangkit lagi, untuk duduk, tapi gagal lagi. Ia mencoba lagi, berkali-kali, tapi selalu gagal lagi. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia meraba rasa nyeri di bawah dadanya. Ia yakin, satu atau dua tulang rusuknya patah akibat terinjak sepatu. Kemudian ia memberanikan diri meraba kemaluannya yang masih dibungkus celana panjang putih seragam PMI. Ia terkejut tangannya menyentuh cairan kental keluar menembus celananya. Buru-buru ia menarik jari-jari tangannya, memeriksa dengan matanya, dan menciumnya. 'Kemaluanku berdarah!' batinnya.
Nadia bergidik. Tiba-tiba ia khawatir telah menjadi korban perkosaan. Tapi, oleh siapa dan dilakukan di mana? Mungkinkah ia diperkosa di tengah jalan? Nadia menjadi curiga, jangan-jangan, ketika pingsan, ia dinaikkan ke dalam mobil oleh seseorang, entah siapa, lalu dibawa ke suatu tempat yang sepi, diperkosa di sana, lalu dibawa lagi ke jalan di depan Gedung MPR dan seperti sampah dilempar begitu saja ke tepi jalan. Nadia merasa ngeri membayangkan apa yang telah menimpanya. Ia lantas menggerakkan tangannya ke belakang punggungnya, untuk memastikan di mana tepatnya kini tubuhnya terbaring. Begitu telapak tangannya menyentuh tanggul beton, ia menyadari bahwa tubuhnya kini terbaring meringkuk persis di sisi beton pembatas jalan tol Gatot Subroto.
Dengan tetap meringkuk, ia mengamati situasi di dalam kompleks Gedung MPR. Kompleks wakil rakyat itu kini sudah dipenuhi pengunjuk rasa. Bahkan banyak di antara mereka yang sudah naik sampai ke atap gedung dan mengibar-kibarkan bendera serta merentangkan beberapa spanduk. Namun, dalam kegelapan malam, tidak jelas spanduk-spanduk itu bertuliskan apa. Mungkin sudah ribuan mahasiswa yang berhasil masuk ke kompleks gedung bundar itu, pikirnya. Tapi, bagaimana nasib Alenda? Makin cemas saja ia mengingatnya.
Nadia mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Dengan itulah dia ingin menolong dirinya sendiri. Sepintas ia ingat kata-kata yang pernah diucapkan ayahnya, "Hidup ini keras, Nadia. Karena itu, kamu harus kuat, dan jangan sekali-kali bergantung pada orang lain. Hanya kamulah yang dapat menolong dirimu sendiri."
Nadia percaya, kata-kata ayahnya itu benar. Tetapi, kalau dirinya sendiri dalam keadaan sekarat, tidak berdaya, dan hanya orang lain yang dapat menyelamatkannya, tentu ia tidak dapat menolong dirinya sendiri. Gadis itu sadar, tidak setiap saat seseorang dapat menolong dirinya sendiri. Dalam keadaan tertentu nasib seseorang sering tergantung pada pertolongan orang lain. Dan, itulah nasibnya, dan nasib Alenda, saat itu. Itu pula alasannya masuk PMI, agar setiap saat siap menolong orang lain yang membutuhkannya.
Dalam ketidakberdayaan itu Nadia akhirnya mencoba untuk tidur, menunggu pagi. Ia berharap ada yang menemukannya sebelum pingsan dan segera membawanya ke rumah sakit. Itu pula harapannya untuk Alenda, aktifis yang sangat dicintainya. Dalam pejam, Nadia merasakan kesendirian dan kesunyian yang makin mencekam. Ia rasakan desir angin malam yang mengusap rambut dan pipinya. Ia rasakan semut-semut yang mulai merambati tangan, kaki, dan masuk ke celana panjangnya tanpa mampu ia usir. Mungkin beginilah kalau mati kelak, pikirnya. Sendiri, membusuk dalam kegelapan liang lahat, ditemani cacing-cacing tanah, semut-semut, jengkerik-jengkerik, kelabang-kelabang dan belatung-belatung, menunggu hari pehitungan. Nadia jadi ingat untuk berdoa, jika malam itu adalah malam terakhir hidupnya, Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya.
Dalam kepasrahannya itu tiba-tiba Nadia merasakan kakinya ditendang-tendang. Pelan-pelan ia membuka matanya: dua sosok lelaki tua dengan pakaian kuning-kuning, dan sapu lidi di tangan masing-masing, berdiri di dekat kakinya. Sebersit rasa syukur langsung bergetar dalam hatinya. Dua petugas kebersihan kota, yang memang mulai bekerja pada dini hari, menemukannya.
"Tolong saya, Pak," kata Nadia lirih sambil menggerakkan tangannya pelan. "Tubuh saya remuk.... Saya tak bisa berdiri...."
Kedua petugas kebersihan itu lantas mengangkat bahu Nadia sambil memegangi lengannya, membantunya untuk berdiri. Gadis itu langsung minta dipapah masuk ke dalam gedung MPR, ke ruangan tempat Alenda terbaring sakit, sambil membawa tas plastik berisi sebungkus nasi dan obat mag yang tadi tergeletak di tengah jalan. Ia betul-betul ingin membuktikan janjinya kepada kekasihnya itu. Tapi, ia sangat kecewa, tidak ada lagi Alenda di sana. Yang ada hanya beberapa mahasiswa yang sedang sibuk membuat spanduk dan poster-poster gerakan reformasi.
Nadia ingin sekali bertanya pada mereka ke mana Alenda dibawa dan dirawat. Tapi ia keburu pingsan sebelum pertanyaan itu sempat diucapkannya. Maka, sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam yang telah menempuh perjalanan panjang, keras, dan berliku itu, akhirnya hanya tergeletak basi di pojok salah satu ruangan gedung wakil rakyat!
Jakarta , Juni 2001/2004

by ; ceritaindonesia.angelfire.com

Kalau Lelaki Itu Pulang...

Cerita Pendek Adek Alwi
Jika lelaki itu pulang ke kota kami, tidak akan dilihatnya lagi kakak duduk termenung di muka jendela, memandang gunung ataupun kejauhan tiada batas. Paman Jafar telah membawa kakak ke Pakanbaru bulan lalu dan ibu melepasnya dengan lega berurai air mata. ”Elok-elok di sana,” pesan ibu. ”Paman dan bibi akan menjagamu. Kau akan dimasukkan kerja. Engkau akan mengajar lagi nanti, Nak. Kau senang dapat mengajar lagi, bukan?”
Kakak diam saja. Hanya memandang. Lurus. Kosong, jauh. Lebih-lebih kalau duduk depan jendela. Angin kadang memburai-burai rambutnya sampai masai, namun kakak bergeming. Matanya terus menerawang ke cakrawala. Wajahnya tambah putih, kian lesi. Tidak jarang air matanya merambat sepanjang pipi. ”Kakak! Kakak!” adik-adik mengimbau, berlari mendekati, memeluk, serta menarik-narik tangannya. Kakak tak hirau.
Tetapi ibu terus bicara. Ibu bilang kami juga harus sering bicara dengan kakak, menyeru namanya. ”Tapi kakak diam saja,” kata adik-adik. ”Seperti tak mendengar.”
”Kakak mendengar,” ujar ibu. ”Dia sayang sekali kepada kalian.”
”Mengapa kakak tidak menyahut?” adik terkecil bertanya kepada Kak Lela.
”Kakak sedang malas bicara,” jawab Kak Lela. ”Ajaklah terus berkata-kata.”
”Malas bicara, seperti kalau aku ngambek?”
”Ya. Begitu.”
Sambil lambat-lambat menyisir rambut kakak yang sepinggang ibu berucap, ”Ai, ai, harum dan bagus sekali rambutmu, Mariani. Ikal. Legam. Ah, tidak elok kita terus mengenang yang sudah-sudah sampai rambut tak terurus. Itu, paman dan bibimu tiba, Nak. Salamilah paman dan bibimu.”
Kakak tetap tidak beringsut. Sudah lama kakak serupa patung hidup. Sejak dia tidak jadi mengajar, disusul perginya lelaki itu sembari mengembalikan cincin belah-rotan, tanda pertunangan—tak lama sesudah ayah ditangkap kemudian lenyap entah di mana dan di tangan siapa.
Orang terlalu banyak saat itu mengurung rumah. Membawa ayah. Seolah-olah beliau orang penting, padahal hanya masinis kereta api. Bukan kepala stasiun. Apalagi pengurus ataupun ketua organisasi buruh DKA. Sedang kami hanya bisa memandang, bertangisan. ”Ayaaah! Ayaaah!” kakak meraung-raung mengimbau, tetapi ayah tidak terjangkau. Raib dalam kerumunan manusia yang gemuruh. Paman Jafar yang pulang setelah kejadian itu juga mencari, namun ayah tetap tidak dapat dicari. Sampai kini.
”Baru pekan lalu kuterima surat Kakak,” kata Paman Jafar seperti minta maaf. ”Payah hubungan pos sekarang. Lambat. Aku tidak dapat pula cepat-cepat berangkat, izin dulu ke komandan.”
”Jalan pun buruk, Kak. Berlubang-lubang,” istri paman menambahkan.
”Paham aku itu,” balas ibu mengangguk, lalu menoleh kepada kakak. ”Begitu keadaannya, lihatlah.”
Istri Paman Jafar menghampiri kakak. ”Tapi mau dia makan, Kak?”
”Mau. Disuapi.”
”Disuapi?” Bibi senyum memeluk bahu kakak. ”Disuapi engkau Mariani, anak rancak? Eh, kenapa keningnya ini?” Senyum bibi tiba-tiba lenyap.
”Anak-anak nakal itu,” sahut ibu. ”Tapi tidak dalam. Sudah kering sekarang.”
”Terlalu! Tengoklah, Bang!”
Mendengar ibu menjerit melihat darah muncrat di jidat kakak, aku melesat ke luar rumah. Kuburu anak-anak itu. Ada empat orang, sama besar denganku. Langsung kutumbuk hidung anak terdekat. Dia melengking, berdarah-darah. Yang lain siap-siap menyergap. Tapi seorang terjerembab saat lututnya kusepak. Lantas ku-nyanyah pula mukanya hingga lumat. ”Kalian lukai kakakku! Kalian lukai kakakku!”
Orang-orang berhamburan memisahkan. Ibu-ibu menceracau, berteriak-teriak. ”Dasar kurang ajar! Anak tidak tahu diuntung! Tukang berkelahi!”
”Maling mangga! Pembuat onar! Pembawa sial!”
”Mereka yang salah,” kubilang. ”Mereka lempar kakakku dengan batu.”
”Bohong! Dasar pencuri jambu! Anak Gestapu!”
Melihat puting susu perempuan itu terjuntai panjang dan hitam belum dibenahi sehabis menyusui, kubalas berteriak, ”Kau ibu anjing!” Plak! Tubuhku terhuyung ke belakang. Hampir terjengkang. Kepalaku nanar. Kuping mendenging. Seorang lelaki membelalak garang di depanku, mengibaskan tangan bagai mengusir anjing. ”Pergi!”
Bibi merebahkan kepala kakak di dadanya. Membelai-belai rambut dekat luka. ”Masih rajin engkau mengaji, Mariani? Nanti mengaji, ya. Bibi ingin mendengarmu mengaji. Pamanmu juga.” Tidak berjawab. Hanya bulu mata lentik kakak mengerjap-ngerjap. Kemudian air matanya membersit lambat-lambat, bagai rembesan pada panci rusak.
”Lepaskan, Nak. Tumpahkan terus. Menangislah keras-keras!” ujar bibi masih tersenyum. Kakak terisak. Bahunya bergerak-gerak. Adik-adik dan Kak Lela berlarian mendekat. ”Kakak! Kakak!” Mereka rangkul tangan dan tubuh kakak. Kakak tersedu-sedu dalam pelukan bibi.
”Maulud Nabi kemarin sudah tak disuruh orang dia mengaji,” kata ibu seperti berbisik kepada Paman Jafar.
”Buya Nawawi juga tidak menyuruh?”
”Dia tetap. Sengaja buya tua itu kemari. 'Siapa pula anak gadis sefasih engkau mengaji Mariani, ia bilang. Mengajilah saat maulud, sebagai biasa'. Tapi yang muda-muda menolak. Sekarang orang-orang muda berkuasa di surau. Katanya, ingin bersih-lingkungan.”
Paman Jafar melempar pandang ke luar rumah. Sebuah bendi lewat di muka rumah, penumpangnya tak menengok. Paman kembali melihat ibu. ”Sebaiknya Kakak ikut denganku ke Pakanbaru,” dia bilang.
”Bagaimana aku bisa pindah, Jafar,” jawab ibu. ”Rumah ini bagaimana.”
”Jual.”
”Ei, siapa bersedia membeli rumah yang penghuninya dianggap serupa hama !” Ibu tersenyum masam. ”Diberi cuma-cuma atau ingin merampas, banyak, Jafar. Tapi aku yang tak rela!”
Adik ibu itu terdiam. Menyulut rokok. Melihat pula ke luar. Orang-orang tetap lewat di muka rumah, tak menengok. Hanya melirik jip hijau Paman Jafar di halaman.
”Sstt!” ucap bibi perlahan. ”Tidur.” Berbisik pula pada adik-adik, ”Ambil bantal, selimut!” Lalu dia rebahkan kepala kakak hati-hati. Dia luruskan kakinya. Diselimuti.
Saat tidur begitu muka kakak persis bayi. Bersih. Polos. Tak sedikit pun tersisa galau yang mendera: ayah yang lenyap, diputus tunangan, ditolak jadi guru. Padahal, sudah tiga bulan ia mengajar, menanti pengangkatan. Berangkat gembira di pagi hari. Juga siang, sewaktu pulang. Dan terkadang terdengar riang menyanyi di kamar mandi: tak ' kan lari gunung dikejar/ hasrat hati rasa berdebar…. Atau diajaknya adik-adik, aku, Kak Lela berdoa, supaya ayah lekas kembali—entah dari mana.
Lalu, penolakan jadi guru itu tiba suatu hari, serupa badai. Karena status ayah. Dan laki-laki itu muncul di suatu petang, berwajah dingin memulangkan cincin belah-rotan. Juga karena status ayah, meski tak diucapkan. Tetapi, dia maupun keluarganya selalu lewat di depan rumah dengan dagu terangkat pongah, saat kakak mulai terbiasa duduk di muka jendela. Kemudian lelaki itu memang tidak terlihat lagi. Kata orang ia sudah merantau ke Jakarta. Sementara kakak semakin betah di muka jendela, menatap kejauhan tak berbatas.
”Sudah ke mana-mana kuobati,” kata ibu, memandang paman serta bibi penuh harap. ”Belum juga ia berubah. Ada kira-kira dokter di Pakanbaru dapat menangani?”
”Ada!” Paman dan bibi menjawab serempak. ”Tenanglah Kakak,” lanjut bibi. ”Kalau perlu kami bawa ke dokter Caltex. Sesekali kubawa pula ke sekolah. Kawanku membuka sekolah taman kanak-kanak.”
”Kukhawatirkan justru Kakak,” ulang Paman Jafar. ”Ikutlah ke Pakanbaru!”
”Tak perlu khawatir, Jafar,” balas ibu. ”Tidak semua orang jahat atau bernafsu mengucilkan. Lagi pula, bila aku pindah, bagaimana kalau abangmu pulang? Ke mana dia cari kami? Walaupun sudah setahun lebih, belum pupus harapanku abangmu bakal pulang. Paling tidak, tahu keberadaannya. Bagaimana keadaannya. Bila mati di mana berkubur….”
Kakak terus tidur di beranda, tak bergerak-gerak seperti bayi. Napasnya lunak. Kulitnya bersih. Putih. Apa gerangan terlintas di pikirannya sehingga mukanya begitu bersih dan tenang? Apakah dalam tidurnya dia bertemu ayah? Di antara kami kakak paling dekat dengan ayah. Barangkali karena perempuan, putri sulung; tapi tangannya campin pula, terampil-cekatan menangani rumah. Ayah bangga dengannya, berharap kakak jadi guru tamat SGA. Sedangkan Kak Lela diharapkan menjadi perawat, kalau cukup biaya.
”Kakek-nenek kalian guru. Mestinya ayah juga. Tetapi malah juru-api kereta api.” Ayah tertawa suatu ketika. ”Syukur ada kakak kalian, ya?” Kami mengangguk, turut bangga walaupun kakak waktu itu baru kelas satu Sekolah Guru Atas.
”Rencanaku besok kembali,” ucap Paman Jafar. ”Kubawa Mariani sekalian. Tugasku menunggu. Di Pakanbaru juga kacau keadaan.”
Ibu mengangguk-angguk. ”Terpikir olehku, Dik,” ujarnya kemudian. ”Apa tak berbahaya buatmu kalau orang tahu status ayah Mariani?”
”Tidak!” Paman menggeleng keras-keras. ”Komandanku tahu. Dia kawanku, Kak. Anak Ampek Angkek.”
Ibu bernapas lega. Besoknya, kakak dibawa paman dan istrinya. Ibu menangis. Kami juga. Rumah jadi lengang—lengang sekali. Kakak telah pergi. Tidak lagi berada di tengah-tengah kami. Dekat kami. Tapi, kalau laki-laki itu pulang suatu hari, dia pun takkan melihat kakak lagi termenung di depan jendela, memandang gunung ataupun kejauhan tiada batas. Tidak dapat lagi dia atau keluarganya mengangkat dagu dengan pongah bila lewat di muka rumah.
Sekali waktu lelaki itu pasti pulang ke kota kami; tak mungkin tidak. Juga lalu di muka rumah. Tidak ada jalan dapat dia lalui untuk tiba di rumah ibunya, kecuali dia buat jalan sendiri dengan meruntuhkan Bukit Tambun Tulang serta menimbun Lurah Situngka Banang—sesuatu yang amat mustahil. Tetapi, mungkin juga bukan mustahil bila hatinya semakin dingin serupa penguasa-penguasa lalim yang dengan telunjuknya dapat membelok-belokkan apa saja. Termasuk jalan hidup anak manusia, seperti ayah, kakak, atau kami yang kehilangan mereka. ***
Jakarta , 30 Juli 2005

by ; ceritaindonesia.angelfire.com

Haji Dal

Cerita Pendek Edeng Syamsul Ma'arif
HAJI Dal menghembuskan asap kreteknya. Di beranda. Gelisah. Sudah tiga kali menunaikan ibadah ke Tanah Suci, tapi masjid di Kampung Dadap selalu saja sepi. Setiap salat Jumat shaf-shaf senantiasa kosong, terlebih pada hari-hari biasa. Lengang. Padahal, tak bosan-bosan, bersama Abah Haji Jamhur dan Surip, mengajak setiap orang untuk memakmurkan masjid Al Manzilah (nama ini diilhami oleh posisi Kampung Dadap yang diapit dua bukit), minimal setiap Jumat. Nihil. Tidak ada muka lain kecuali mereka bertiga di dalamnya, meski pengeras suara sudah diarahkan ke segenap penjuru mata angin, mengumandangkan azan pada tiap-tiap waktu salat.
Mulanya Haji Dal mengira, semakin sering dirinya pergi haji, orang-orang akan semakin tertarik untuk datang ke masjid. Haji Dal mengusap muka. Munafik. Selama ini ia telah melakukan dosa teramat besar. Menganggap haji adalah jabatan yang bisa dijadikan alat untuk memengaruhi orang-orang. Termasuk hartanya yang banyak dikeluarkan, semuanya mengandung pamrih. Bergidik Haji Dal membayangkan azab Allah yang teramat pedih. Segera ia berwudu.
Tekadnya, semua dosa harus ditebus. Ia berjanji, musim haji tahun ini akan berangkat lagi. Bukan untuk takabur, tapi untuk sebuah rencana besar dan berat, menyangkut kelangsungan hidup orang-orang di Kampung Dadap. Tak ada yang akan diberi tahu, juga Abah Haji Jamhur, gurunya yang telah sepuh. Hanya kepada Surip.
Ya, Surip. Kepadanya ia sangat percaya. Pembantu paling jujur yang pernah ditemui. Muazin fasih yang mengurusi segala kebutuhan hidup sehari-hari, setelah istri Haji Dal meninggal ketika wabah malaria mengganas di Kampung Dadap. Sedangkan anak, Haji Dal tak punya.
**
BEGITULAH Orang-orang Kampung Dadap selalu bergunjing. Terkagum-kagum memuji keberuntungan Haji Dal. Meski tak sekalipun datang ke masjid, haji adalah pangkat impian mereka. Memakai peci putih dengan harum zakfaron. Ke mana-mana mengurai tasbih berselendang sorban. Mustahil, kecuali Jibril salah alamat atau Roqib dan Atid lupa menghitung. Sejak dulu selalu begitu. Mereka memang bodoh. Meski fatwa seorang haji adalah hukum, tapi bukan hukum untuk datang ke masjid. Mendengar masjid mereka akan alergi, gatal-gatal, dan demam tinggi.
Sebenarnya, Haji Dal merasa tidak enak juga jika terus-terusan pergi haji. Seolah hanya dirinya yang mampu melakukan itu. Terutama pada Abah Haji Jamhur yang berulangkali menasihati agar biaya pergi haji itu lebih baik diberikan kepada yang lebih membutuhkan. Berbagi rezeki, kebahagiaan dan kemuliaan. Tapi siapa yang layak menerima? Orang-orang itu? Mana mungkin? Mereka memusuhi masjid. Kecuali Surip. Sayangnya, Surip selalu menolak tawaran untuk naik haji. Belum saatnya, selalu ia bilang begitu. Suatu saat mungkin sampai, katanya.
Tapi keputusan ini harus ditetapkan. Jika kedua tangannya sudah tak mampu lagi memperbaiki orang-orang, kenapa semuanya tidak dikembalikan kepada tangan mereka sendiri? Tekad Haji Dal sudah bulat, ia harus berani menantang risiko. Berat memang, terutama buat Surip yang akan dipercayainya.
Akan halnya di mata orang-orang Kampung Dadap, Haji Dal adalah panutan. Bukan semata karena sudah haji tiga kali, tapi mereka tak bisa menutup mata pada segala sesuatu yang telah mereka terima. Tak seorang pun yang datang ke rumah Haji Dal pulang dengan tangan hampa. Mereka meminjam uang untuk beli pupuk, alat-alat pertanian sampai kebutuhan hidup sehari-hari. Haji Dal tak segan memberikan pinjaman. Bahkan tak jarang merelakannya tanpa kembali. Orang-orang takjub. Haji Dal benar-benar memukau. Ia seorang dermawan sejati.
Itulah sebabnya, seluruh sawah, peternakan maupun ikan-ikan di kolam milik Haji Dal senantiasa aman dari ta-ngan-tangan penjarah atau maling pengganggu. Orang-orang Kampung Dadap akan dengan sigap menjaga dan membela segala sesuatu yang berhubungan dengan Haji Dal. Mereka berhutang budi. Tak ada iri, dengki apalagi menyimpan dendam. Tak ada celah untuk berbuat jahat atau khianat. Kecuali kepada masjid, mereka tak merasa berutang.
Hingga satu minggu menjelang keberangkatan Haji Dal, mereka sibuk mendirikan tarub. Ruangan di dalam rumah ternyata tidak cukup untuk menampung orang sekampung. Seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka akan mengaji selama satu minggu penuh. Mendoakan keselamatan dan kesejahteraan Haji Dal. Tak peduli mereka bisa mengaji atau tidak. Yang penting kumpul. Yang penting pulangnya bisa membawa berkat.
Mereka bersukacita, karena selama satu minggu tak perlu lagi mencangkul di ladang. Bingkisan bahan pangan dan sejumlah uang setiap habis mengaji, sudah lebih dari cukup untuk dimakan seluruh keluarga. Ibarat panen, mereka berbondong-bondong menghadiri kesempatan mahal ini.
TIBALAH orang-orang berkumpul. Abah Haji Jamhur memimpin bacaan surat Yaasin, orang-orang menggeremang. Surip khusyuk mengeja huruf-huruf Alquran. Di kamar, Haji Dal tepekur. Airmatanya menetes membasahi sorban yang melingkar di lehernya. Inilah saat paling mendebarkan, sebelum ia benar-benar merelakan semuanya kepada Yang Maha Kuasa. Sementara di sudut yang agak remang, sekelompok pemuda membentuk lingkaran. Kartu-kartu remi dan domino dibagikan mengiringi alunan ayat-ayat suci.
Pada malam terakhir, Haji Dal berkenan menyampaikan sambutan. Ia akan pergi haji sekalian mempelajari ilmu agama selama sepuluh tahun di Mekah. Dan harta Haji Dal akan dititipkan kepada masyarakat Kampung Dadap, yang pengurusannya diserahkan kepada Abah Haji Jamhur. Hening. Napas-napas memburu. Kerongkongan tercekat. Hampir terhenti. Pemuda-pemuda yang bermain kartu terpaku. Mereka tak mengira. Takzim. Sedetik bersorak, menyambut bulan jatuh dari langit. Berbunga-bunga, khas orang kampung. Berbisik-bisik. Sepuluh tahun sudah cukup untuk membuat mereka menjadi haji. Mereka akan melakukan apa saja. Penuh. Kecuali Abah Haji Jamhur yang berkerut kening. Ia merasakan sesuatu yang ganjil.
"Kenapa harus aku?"
"Abah yang memelihara masjid. Abah pula satu-satunya keturunan pertama pendiri kampung ini yang masih hidup."
"Apa bedanya dengan Surip?"
"Surip belum haji."
Ya. Surip belum haji. Apalagi ia cuma pembantu. Jongos yang dipandang sebelah mata oleh orang-orang Kampung Dadap. Ia juga tidak dilahirkan di kampung itu. Dan, meski rajin ke masjid, Surip bukan haji. Titik.
**
DAN gemuruh iring-iringan Haji Dal, disertai isak tangis membelah kampung. Tua-muda, besar-kecil, melepas kepergian panutan yang dicintai. Dermawan bersahaja yang merelakan hartanya untuk kemakmuran umat. Berduyun-duyun menyusuri jalan setapak licin. Melepas ksatria ke medan perang. Mungkin ia akan kembali atau tidak sama sekali. Menempuh jalan lurus untuk mati. Sementara di sini, orang-orang akan terus menanti kabar suka cita.
Labbaika Allahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik. Abah Haji Jamhur berjalan paling depan memimpin takbir, tahlil, dan tahmid, persis di belakang Haji Dal yang digandeng Surip. Berjalan perlahan menuju jalan besar di ujung kampung. Menurun berkelok hingga Haji Dal masuk ke dalam mobil carteran, meninggalkan tanah kelahirannya yang sulit ia pahami.
Kampung Dadap kembali sepi, setelah satu minggu digetarkan oleh suara-suara orang mengaji. Tinggallah Abah Haji Jamhur tepekur. Sendiri. Ia tak habis pikir dengan keputusan Haji Dal. Bagaimana mungkin membagikan seluruh harta, meski hanya untuk sementara, pada orang-orang yang jelas-jelas memusuhi masjid? Amanat itu teramat berat. Kalau saja ia boleh memilih, lebih baik memindahkan sebuah gunung daripada harus memikul tanggungjawab yang bisa membuatnya berlaku tidak adil. Namun ia tidak boleh khianat. Semua rata dibagikan, tak tersisa.
Allah Maha Pemurah. Abah Haji Jamhur terhindar fitnah. Beliau wafat, setelah satu bulan keberangkatan Haji Dal ke Tanah Suci. Innalillahi wa innailaihi raajiuun.
Abah Haji Jamhur bercahaya di pangkuan Surip. Meninggalkan masjid Al Manzilah yang sangat dicintainya. Sesuai amanat terakhir Abah Haji Jamhur, Surip menjadi imam masjid. Surip khusyuk mengurus masjid. Mengumandangkan azan tak pernah bosan. Menjadi imam untuk dirinya sendiri. Sendiri! Begitulah setiap waktu. Hingga tahun-tahun berlalu, tak ada perubahan di Kampung Dadap. Orang-orang gelisah. Tapi bukan gelisah karena masjid yang selalu sepi. Sepuluh tahun hampir menjelang. Dan mereka harus segera mengembalikan semua harta yang dititipkan. Mereka khawatir kemiskinan kembali mencengkeram. Masjid semakin jauh.
Surip pasrah. Apapun yang terjadi, amanat itu harus dijalaninya. Meski perih berdarah-darah, tak layak ia berkeluh. Hanya satu permintaannya, orang-orang Kampung Dadap dibukakan pintu hatinya. Sampai waktu merambat, sepuluh tahun telah lewat. Orang-orang semakin gelisah. Mereka mendatangi Surip, meminta kejelasan tentang Haji Dal dan harta yang dititipkan. Mereka berembug berhari-hari. Akhirnya sepakat disimpulkan, Haji Dal telah syahid. Dan harta itu?
Semua usul, semua punya rencana. Membangun jalan, listrik, membeli motor, mobil, radio, televisi. Kampung Dadap memang terlalu jauh dari kota. Tapi yang paling penting, andai harta itu menjadi milik mereka. Surip mengurut dada. Masjid telah lama menjadi kuburan. Berbulan-bulan berbilang tahun. Sampai wajah semakin tua, kulit-kulit semakin keriput, rambut-rambut memutih, bayi-bayi lahir menderas. Namun tak jua orang-orang memakmurkan masjid.
Hingga Surip mengembuskan napas terakhir, ketika bersujud di dalam mihrab. Menunggu. Penantian menjemput ajal paling sempurna. Pada selembar kertas di bawah sajadah terdapat tulisan, penduduk Kampung Dadap dianjurkan pergi haji dengan harta Haji Dal yang telah sah menjadi milik mereka.
Tapi rasa heran orang-orang Kampung Dadap tak menemukan jawaban, karena selain kertas di bawah sajadah, mereka juga menemukan tasbih, sorban, sarung, dan gamis yang tersimpan rapi di dekat mihrab, yang mereka kenal betul pakaian itu biasa dikenakan oleh Haji Dal.
Dengan setumpuk kecemasan, mereka berusaha bangun dari mimpi. Orang-orang Kampung Dadap pergi haji. Sementara anak-anak yang ditinggalkan, menunggu kembalinya orang tua mereka sambil bermain kartu di teras-teras rumah, bertaruh uang recehan. Tak ada yang bisa mereka kerjakan selain berjudi, karena sawah, ladang, kebun, peternakan, dan kolam ikan sudah digadaikan orangtua mereka kepada para tengkulak dari kota. ***
Cirebon , Januari 2006

by ; ceritaindonesia.angelfire.com 

Loro Jonggrang

Loro Jonggrang, atau lebih tepat dieja sebagai Rara/Lara Jonggrang atau biasa disebut Durga Mahisasuramardini adalah sebuah legenda atau cerita rakyat yang ingin menjelaskan adanya Candi Prambanan di Jawa Tengah. Cerita ini berdasarkan arca Dewi Durga yang ditemukan di desa Prambanan, Jawa Tengah ini.

Rara Jonggrang artinya adalah “dara (gadis) langsing”. Menurut rakyat setempat ceritanya seperti ini:

Alkisah adalah seorang Raja yang bernama Raja Baka (Boko) dan mempunyai putri sangat cantik, Rara Jonggrang. Maka iapun dilamar oleh Bandung Bandawasa (Bandung Bondowoso). Rara Jongrang pun disuruh menikah dengan Bandung Bandawasa tidak mau karena tidak mencintainya. Akhirnya ia setuju asalkan permintaannya dikabulkan. Permintaannya ialah minta dibangunkan 1.000 candi dalam waktu satu hari satu malam.

Bandung Bandawasa setuju, lalu ia mulai membangun, tetapi setelah malam hari ia meminta bantuan makhluk halus sehingga pembangunan bisa lebih cepat. Rara Jongrang khawatir dan ia menyuruh dayang-dayangnya supaya membunyikan suara-suara berisik dan membangunkan hewan-hewan peliharaan supaya para makhluk halus takut. Ternyata benar, para makhluk halus mengira hari telah pagi dan mereka bersembunyi lagi. Bandung Bandawasa melihat bahwa jumlah candi hanya 999 dan ia tahu bahwa ia telah dikelabui oleh Rara Jongrang yang berbuat curang. Maka iapun murka dan menyihir Rara Jongrang menjadi patung batu yang menghias candi terakhir

by ; www.cerpen.web.id

Legenda Malin Kundang

Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.

Karena merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Malin memutuskan untuk pergi merantau agar dapat menjadi kaya raya setelah kembali ke kampung halaman kelak.

Awalnya Ibu Malin Kundang kurang setuju, mengingat suaminya juga tidak pernah kembali setelah pergi merantau tetapi Malin tetap bersikeras sehingga akhirnya dia rela melepas Malin pergi merantau dengan menumpang kapal seorang saudagar.Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang beruntung, dia sempat bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu sehingga tidak dibunuh oleh para bajak laut.

Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan tenaga yang tersisa, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.

Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.

Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin yang melihat kedatangan kapal itu ke dermaga melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.

Ibu Malin pun menuju ke arah kapal. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi melihat wanita tua yang berpakaian lusuh dan kotor memeluknya Malin Kundang menjadi marah meskipun ia mengetahui bahwa wanita tua itu adalah ibunya, karena dia malu bila hal ini diketahui oleh istrinya dan juga anak buahnya.

Mendapat perlakukan seperti itu dari anaknya ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menyumpah anaknya "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu".

Tidak berapa lama kemudian Malin Kundang kembali pergi berlayar dan di tengah perjalanan datang badai dahsyat menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang. Sampai saat ini Batu Malin Kundang masih dapat dilihat di sebuah pantai bernama pantai Aia Manih, di selatan kota Padang, Sumatera Barat.

by ; www.cerpen.web.id

Jumat, 15 April 2011

Balada sang Korban

Cerita Pendek Ahmadun Y Herfanda
MALAM  begitu gerah. Pak Salman gelisah. Becak yang selama ini merupakan satu-satunya sumber penghidupan bagi dia dan keluarganya akan dijual oleh juragannya. Alasannya, tidak lama lagi becak akan dilarang masuk Jakarta . Becak-becak yang ada akan dibersihkan dan dibuang ke laut. "Daripada dibuang ke laut, lebih baik dijual duluan ," kata sang juragan.
Sepulang dari kerja, Pak Salman membaringkan tubuhnya yang berkeringat di dipan bambu. Pikirannya dikacaukan bayangan masa depan yang sesuram knalpot bus kota . Ya, bagaimana nanti kalau uang Rp 20 ribu di kantongnya sudah habis untuk makan sehari-hari? Sedang dia sudah tidak menarik becak lagi. Jalan satu-satunya yang terlintas di benaknya adalah menjual barang-barang yang dia miliki. Tetapi kalau barang-barangnya sudah habis?
Pak Salman melirik barang-barang yang dia miliki: sebuah televisi bekas 12 inci dan sebuah radio transistor dua band yang warnanya mulai legam. Hanya itu yang dapat dijualnya. Dia menaksir paling banter hanya laku sekitar Rp 90 ribu dan hanya bisa untuk makan sekeluarga selama setengah bulan. Setelah itu, mencari sesuap nasi saja mungkin akan sangat sulit. Anak-anaknya masih kecil. Istrinya tidak bekerja. Belum lagi untuk membayar sewa rumah bulanan. Untuk mencari pekerjaan lain dalam waktu singkat sangat sulit. Ijazah dia tidak punya. Membaca saja masih terbata-bata. Padahal Kota Jakarta makin dipenuhi orang pintar yang masih menganggur dan setiap saat selalu rebutan pekerjaan.
Di kota yang makin padat ini orang seperti Pak Salman akan semakin tersisih. Dan dunia yang paling dekat dengan dia dan keluarganya adalah dunia gelandangan. Tidur di kolong jembatan, kalau masih ada tempat. Kalau tidak, terpaksa harus mau tidur di emper pertokoan Cina, pikirnya. Padahal, gelandangan juga makin banyak di Kota Jakarta. Tiap hari mereka meminta-minta di perempatan-perempatan jalan, di jembatan penyeberangan, di emper-emper pertokoan dan semakin berdesakan di kolong-kolong jembatan. Dia sangat ngeri membayangkan itu semua. Kepalanya terasa semakin berat dan napasnya semakin sesak.
Mbok Kasmi, istrinya, heran melihat tingkah Pak Salman yang tidak seperti biasa itu. Biasanya sehabis pulang kerja dia langsung minum bergelas-gelas air putih dan makan nasi setengah bakul. Hari itu minum seteguk air pun tidak. Lebih heran lagi, Pak Salman berbaring lesu sambil melamun, menopang kepalanya dengan kedua telapak tangannya, dan matanya menatap ke langit-langit, seperti pemuda yang sedang patah hati.
"Ada apa, Pak? Mbok ya makan dulu!" Mbok Kasmi memberanikan diri mendekati suaminya.
Pak Salman masih bungkam.
"Apakah kau sakit, Pak?"
"Aku sangat bingung, Bu. Besok sudah tidak bisa narik beca lagi."
"Lho, kenapa? Apa kau dikeluarkan?"
Pak Salman menggeleng. "Semua beca Pak Parto akan dijual," katanya lesu.
"Lalu kawan-kawanmu nanti akan kerja apa?"
"Mana aku tahu, Bu. Mereka tadi pulang dengan membisu. Aku sendiri bingung, untuk selanjutnya akan kerja apa? Padahal bisaku hanya menarik beca. Sebetulnya aku ya diberi pesangon, tapi hanya dua puluh ribu. Uang segitu dapat untuk apa, Bu? Untuk makan tiga hari saja akan habis. Dan dalam waktu itu aku belum tentu mendapat pekerjaan lain."
"Ya, Pak. Bagaimana hidup kita nanti kalau kau tidak bekerja?"
Pak Salman menggeleng dan hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Wajah Mbok Kasmi berubah sangat sedih. Pak Salman menyesal telah telanjur mengatakan kekhawatiran yang membayangi pikirannya. Air mata Mbok Kasmi menetes, air mata tua yang sedang berduka.
"Sudahlah, Bu. Jangan menangis. Berdoa saja semoga dalam waktu beberapa hari aku sudah mendapat pekerjaan lagi."
*
Pak Salman sesungguhnya sudah ikhlas menerima nasib sebagai penarik beca walaupun hasilnya hanya pas-pasan untuk menghidupi keluarganya. Meskipun kenyataannya cukup pahit, dia tetap bekerja dengan bersemangat dan gembira. Namun, ternyata Pak Parto, juragannya, punya rencana lain.
"Bapak-bapak, sebetulnya aku tidak tega melakukan hal ini. Tapi demi kebaikan kalian, hal ini terpaksa kulakukan. Aku merasa kasihan melihat kerja kalian semakin sepi. Kalian semakin terdesak. Daerah bebas beca semakin diperbanyak, dan sebentar lagi akan diberlakukan di seluruh Jakarta. Ditambah lagi semakin banyak bemo dan angkot yang operasinya semakin merata ke jalan-jalan kecil dan gang-gang, sehingga kita semakin tidak kebagian rezeki. Belum lagi kini kita juga harus bersaing dengan tukang-tukang ojek. Dan, yang lebih tidak dapat kita lawan, tidak lama lagi beca akan dilarang masuk Jakarta ," kata Pak Parto.
"Karena itu, semua beca akan saya jual. Besok pagi akan diangkut ke Semarang semua dan kalian dengan sendirinya sudah tidak dapat menarik beca saya lagi. Uangnya akan saya pakai untuk tambahan membeli dua minibus dan akan saya operasikan di jurusan Jakarta-Bogor. Kalau di antara kalian ada yang dapat menyetir dan mempunyai SIM A, boleh mengoperasikannya. Tetapi sudah tentu saya hanya butuh dua orang sopir saja."
Pak Salman dan kawan-kawannya hanya membisu ketika pidato itu diucapkan oleh Pak Parto di hadapan mereka. Ada yang hanya melongo memandang Pak Parto, sebagian ada yang hanya menatap langit kering karena musim kemarau, sebagian lagi hanya menunduk sambil memain-mainkan jemari kakinya di tanah seperti anak kecil.
*
Sudah setengah bulan lebih Pak Salman menjadi penganggur. Setiap pagi dia ke luar rumah untuk mencari pekerjaan, tetapi sorenya selalu pulang dengan tubuh lesu karena harapannya tidak tergapai. Dan hari ini uangnya hanya tinggal lima ribu rupiah. Televisi bekas dan radionya pun sudah ia jual di pasar loak Taman Puring. Itu berarti besok dia sudah tidak punya uang lagi. Dia hanya berani membawa dua ribu rupiah untuk ongkos mencari pekerjaan. Sisanya diberikan kepada istrinya untuk makan sehari. Kalau hari ini dia tidak berhasil mendapat uang dan pekerjaan, besok istri dan kelima anaknya tidak akan bisa makan lagi.
Sebelum berangkat Pak Salman memandangi anak-anaknya. Yang masih kecil sedang digendong ibunya, yang nomor dua dan tiga sedang bermain-main di teras rumah sewanya yang sempit, dan satu lagi yang paling besar sudah berangkat ke sekolah. Dengan memandang anak-anaknya, semangat Pak Salman timbul kembali.
Pak Salman sudah sangat jauh berjalan. Uang di sakunya sudah ludes untuk naik bus kota dan minum aqua di pinggir jalan. Dia merasa sangat lelah. Jalan-jalan raya sudah ditelusurinya semua. Bahkan dia sudah keluar masuk gang. Tetapi setiap mendatangi kantor, toko, pabrik, warung makan, dan rumah orang kaya, selalu disambut dengan perkataan: tidak ada lowongan kerja. Banyak pula yang mengatakan kelebihan tenaga. Dia sangat sedih menghadapi kenyataan itu.
Saat berjalan sambil melamun, hujan tiba-tiba turun dari langit yang mendung sejak siang tadi. Pak Salman cepat-cepat berlari ke teras rumah yang lebar. Dia berteduh di situ. Di sekelilingnya tampak sepi, kecuali orang-orang yang berlarian masuk ke rumah masing-masing. Hujan semakin deras, disertai angin yang cukup kencang. Pak Salman menggigil. Dia tidak dapat melanjutkan langkahnya untuk mencari pekerjaan. Hujan keparat, umpatnya dalam hati. Dengan tajam dia menatap air hujan yang jatuh dari langit, lalu menatap langit yang kelam sambil sekali-sekali mengumpat. Kali ini dia betul-betul merasa benci pada hujan. Hatinya sangat marah. Tetapi hujan tetaplah hujan. Dia punya aturan sendiri untuk turun ke bumi.
Tadi Pak Salman juga sudah mencoba nimbrung pada para calo bus antarkota untuk ikut membagi rezeki, tapi dengan kasar mereka mengusirnya. Lalu dia juga mencoba ikut mengatur parkir mobil di depan pertokoan Cina, tapi seorang lelaki bertubuh besar dan berwajah berewok segara mengusirnya. Bahkan dia hampir ditempeleng ketika ngotot tetap berada di tempat itu. "Ini lahan gue, wilayah gue! Pergi lu!" bentak lelaki berewok itu, kasar.
Pak Salman marasa seperti orang yang betul-betul terusir dari tanah airnya sendiri. Dia ingat pada anak-anak dan istrinya di rumah. Dia bertambah sedih. Dia pun ingat pada kata-kata Pak Parto yang terakhir: kalian jangan khawatir. Saya yakin, kalian akan segera mendapat pekerjaan yang lebih baik dari pada penarik beca. Di sini banyak tersedia lapangan kerja. Semoga kalian tidak menjadi penarik beca lagi, hidupnya pahit!
Pak Salman sangat benci pada kata-kata itu kini. Dia juga sangat benci pada Pak Parto. Dia merasa tertipu oleh kata-katanya. Dia juga semakin membenci keadaan, membenci Kota Jakarta. Sangat benci. Syukur dia belum membenci negaranya sendiri, sehingga tidak memilih menjadi pemberontak.
Deras hujan agak berkurang. Sekitar rumah tempat Pak Salman berteduh masih tampak sepi. Dia menengok ke dalam rumah itu, juga tampak sangat sepi. Tetapi anehnya pintu rumah itu tidak dikunci, bahkan sedikit terbuka. Dia mengamati isi rumah itu. Tampak barang-barang berharga tergeletak di situ. Ada pesawat TV yang cukup besar, jam dinding, tape recorder , dan yang paling menarik hatinya adalah arloji berwarna emas yang tergeletak di atas meja. Jam itu tentu harganya sangat mahal, pikirnya. Jam itu bagai membisikkan sesuatu ke telinganya.
Pak Salman pun ingat keluarganya yang sebentar lagi akan kelaparan. "Seandainya aku dapat mengambil jam itu dan menjualnya, tentu saat yang mengerikan itu dapat tertunda lebih lama lagi dan aku mempunyai peluang dan ongkos untuk mencari pekerjaan lagi. Dan mungkin dalam jangka waktu itu aku akan mendapat pekerjaan." Pikiran Pak Salman bekerja keras. "Tapi bagaimana cara mengambilnya? Ah mudah sekali. Aku dapat melangkah dengan pelan-pelan ke meja itu, mengambilnya dan memasukkannya ke saku. Ya, jam tangan itu saja, tak usah banyak-banyak. Persetan dengan benda-benda lainnya. Tapi bagaimana nanti kalau ketahuan?" Ia berpikir kembali. "Ah, kenapa tiba-tiba aku ingin jadi maling? Betapa terkutuknya!"
Pak Salman teringat lagi pada anak-anak dan istrinya di rumah, mereka mulai besok pasti sulit untuk mendapatkan sesuap nasi. Dia memandang berkeliling. Masih sepi.
Ia memandang kembali pada arloji berwarna emas di atas meja. Pertentangan dalam batinnya semakin menghebat. Tetapi jam tangan itu semakin kuat mengundangnya.
Pak Salman tiba-tiba sudah berada di depan meja tempat arloji berwarna emas itu tergeletak. Dia memandang ke seluruh penjuru angin. Tidak ada orang lain di ruangan itu. Cepat-cepat dia mengambil arloji berwarna emas dan secara kilat memasukkannya ke saku celananya. Dengan dada berdegup keras dia berbalik untuk cepat-cepat berlalu. Tetapi tiba-tiba pintu kamar depan terbuka. Dua anak muda muncul dan berteriak garang, "Maliiiing!"
Pak Salman kaget dan geragapan. Dia berbalik ke arah dapur, tapi dari sana muncul pula seorang ibu dan dua orang lelaki. Pak Salman betul-betul terkepung. Betapapun dia tidak ingin tertangkap. Dia nekat menabrak dua pemuda tadi, tetapi mereka terlalu perkasa baginya. Tangan Pak Salman tertangkap. Dia berontak dan terpaksa melayangkan tinjunya ke muka pemuda yang menangkap tangannya. Pemuda itu terhoyong-hoyong mundur. Namun tiba-tiba sebuah tinju yang amat keras bersarang di pelipis kirinya, disusul dengan tinju-tinju lainnya. Mata Pak Salman berkunang-kunang.
Secara samar-samar Pak Salman melihat beberapa orang memasuki rumah itu, dan bertambah banyak lagi. Mereka beramai-ramai mengeroyok dan menghajarnya. Untuk selanjutnya dia hanya merasakan pukulan-pukulan semakin gencar menghujani kepala dan tubuhnya. Bukan pukulan-pukulan tinju saja, tapi juga benda-benda keras dan amat keras menghujani tubuhnya. Kemudian dia ambruk. Kepalanya menghantam lantai dengan keras. Pandangannya menjadi gelap. Semakin gelap. Gelap sekali.
*
Di rumah sewanya yang kumuh, Mbok Kasmi gelisah. Sampai jam sepuluh malam suaminya belum pulang. Dia khawatir terjadi apa-apa dengan sang suami. Mungkinkah dia sudah mendapat pekerjaan dan malam ini harus kerja lembur? Syukurlah kalau begitu. Tapi bagaimana kalau dia mengalami kecelakaan di jalan? Atau mungkin dia bunuh diri karena putus asa? Mbok Kasmi semakin gelisah, sampai seseorang mengetuk pintu rumahnya, seorang polisi. Dia semakin khawatir saja.
"Ibu istrinya Pak Salman?" tanya polisi itu setelah duduk di kursi kayu. Mbok Kasmi hanya mengangguk.
"Apa kerja suami Ibu?"
"Menarik beca? Tapi sudah setengah bulan tidak bekerja. Becanya dijual sama yang punya," jawab Mbok Kasmi dengan sorot mata penuh tanda tanya. Polisi itu menatap Mbok Kasmi agak lama.
"Maaf, Bu. Sebenarnya saya tidak tega, tapi ini harus saya katakan pada ibu. Suami ibu meninggal di rumah sakit."
"Ha! A... apa? Suami saya mati? Oh...!"
Dada Mbok Kasmi bagai terpukul godam dengan amat keras. Jiwanya betul-betul terguncang. Pandangannya semakin kabur dan kacau. Kursi kayu yang didudukinya bagai bergoyang hebat. Dia tidak kuat lagi dan ambruk menimpa Pak Polisi. Pingsan!
Jakarta, 1980/2004

Angin Menabuh Daun-daun

Cerita Pendek M. Arman AZ
Putri terbangun ketika malam telah bertengger di puncaknya. Dinyalakannya lampu kamar. Pukul dua dini hari. Di luar sana, kesunyian telah sempurna mengepung kota. Sayup-sayup terdengar suara tiang listrik dipukul seseorang. Digelitiki rasa penasaran, Putri melangkah menuju ruang tamu. Instingnya mengatakan ada kesibukan di sana. Tebakannya tak meleset. Dia mendapati Bapak masih bergelut dengan pekerjaannya. Kertas-kertas berserak di meja dan lantai. Ada bukit kecil di asbak, terbuat dari puntung-puntung rokok. Tiga gelas kopi yang sudah kosong, beku di dekat Bapak.
Putri memandangi sosok lelaki yang hanya mengenakan kaos oblong dan kain sarung itu. Dia tidak sadar kalau kacamatanya telah melorot ke hidung. Wajahnya tegang. Sekali waktu, jemarinya meniti huruf demi huruf di depan matanya. Begitu bersemangatnya dia, hingga tak sempat menyadari bahwa ketukan yang ditimbulkannya telah melahirkan nada yang tersendat-sendat, yang hampir tiap malam merusak kenyamanan tidur anaknya. Sekejap kemudian, dia menghentikan ketikannya. Diam mematung, tapi pikirannya seperti meraba dalam kegelapan. Mengetik lagi. Melamun lagi. Begitu terus-menerus. Ah, Bapak, desis Putri dalam hati.
Mesin tik tua itu sangat berharga bagi Bapak. Suatu hari, beliau pernah berkata bahwa dia lebih mencintai mesin tik itu ketimbang dirinya sendiri. Pendapat yang berlebihan, menurut Putri. Tapi, kalau sudah melihat bagaimana Bapak memperlakukan mesin tik itu, Putri benar-benar trenyuh. Inilah jalinan cinta terunik yang pernah dilihatnya. Sejujurnya, Putri sudah jenuh mendengar sejarah mesin tik itu. Sudah berkali-kali Bapak mengulangnya. Benda itu dibelinya dengan harga miring di pasar loak. Manakala kisahnya sampai pada asal-muasal uang untuk membeli mesin tik itu, makin berbinarlah mimiknya. Ya, ya, Putri sudah hafal luar kepala. Dari hasil menyisihkan honor tulisan, akhirnya dia bisa memiliki mesin tik yang lama menggoda dalam mimpinya.
Begitulah. Mungkin usia mesin tik itu jauh lebih tua dari Putri yang kini duduk di bangku sekolah menengah umum. Setiap melihat mesin tik itu, Putri seperti melihat sosok seorang pensiunan tua. Di sisa hidupnya, tidak semestinya dia masih bekerja membantu Bapak menghasilkan tulisan-tulisan. Gudang adalah tempat yang nyaman untuk benda antik itu.
Tapi tidak. Bapak sungguh telaten merawat mesin tik itu. Sejarah, mungkin, membuat cinta Bapak tak pernah layu. Sudah beberapa kali Bapak mereparasi kekasihnya itu. Tahun-tahun belakangan ini, dia mulai rewel. Ada saja kerusakan yang terjadi, seperti pita yang kerap lepas dari tempatnya atau huruf yang tercetak miring. Tapi, Bapak sabar meladeninya. Jika dia merasa sanggup memperbaiki kerusakan itu, pasti dikerjakannya sendiri. Kalau dia menyerah, dia tidak sungkan membawanya ke tempat servis.
*****
Akhirnya, bayangan yang Putri takutkan itu menjadi kenyataan. Guru-guru di sekolah membuktikan ancamannya. Mulai hari ini mereka menggelar aksi mogok mengajar sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Ini benar-benar sebuah mimpi buruk. Bagaimana tidak, semua guru di kotanya, bahkan di kota-kota lainnya, serempak melakukan aksi serupa. Mereka bersikeras agar pemerintah pusat merealisasikan tuntutan mereka. Ah, begitu banyak cara menyikapi suatu persoalan. Inilah pilihan terbaik di antara yang terburuk.
Seumpama macan yang terusik tidurnya, guru-guru di sekolah Putri menggeliat dari kepasrahan yang lama melilit mereka. Mulai hari ini, hampir seluruh sekolah di negeri Putri lumpuh total. Tidak ada kegiatan belajar mengajar. Guru-guru mogok massal. Sejak pagi hingga siang hari, orang-orang dipaksa menyaksikan pemandangan yang entah heroik atau menyedihkan itu. Guru-guru dengan pakaian korps lengkap, berbondong-bondong menuju gedung wakil rakyat. Mereka ingin menyampaikan aspirasi di sana . Mereka masih sempat tersenyum dan memekikkan yel-yel, tapi sesungguhnya air mata menetes dalam batin mereka.
*****
Sudah hari keempat Putri dan teman-temannya terlantar. Beberapa guru memang tampak hadir di sekolah, tapi mereka tetap enggan memberi pelajaran. Mereka hanya duduk-duduk di ruang guru. Berbincang dengan raut muka tegang. Mereka tetap berkeras agar pemerintah segera membayar rapel gaji mereka yang terus-menerus ditunda. Murid-murid bingung. Kalau begini jadinya, pihak mana yang harus disalahkan?
"Teman-teman, sudah beberapa hari ini kelas kita melompong tanpa guru. Rasanya hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kita harus melakukan sesuatu."
"Tapi, tindakan apa yang bisa kita lakukan?"
"Saya yakin kita semua sudah mengerti masalah apa yang menimpa guru kita, bukan?"
Sebagian dari mereka mengangguk mengiyakan.
"Kita semua tahu, menekuni profesi sebagai pendidik di negeri ini begitu dilematis. Tidak usahlah saya jelaskan panjang lebar. Ini sudah jadi rahasia umum. Apalah artinya gaji guru dibanding kebutuhan hidup mereka? Belum lagi potongan di sana-sini. Kalau dulu, kita menganggap guru adalah pekerjaan yang luhur dan mulia, tapi sekarang, kita telah melihat kenyataan bahwa guru tak jauh beda dengan sapi perah."
Rapat terus bergulir. Ketika jam istirahat tiba, seisi kelas membentuk kelompok-kelompok kecil. Mereka berunding mencari jalan keluar. Ternyata membahas apa yang bisa mereka lakukan sebagai bentuk solidaritas murid kepada guru bukanlah masalah yang mudah.
Dari sekian banyak usulan, semuanya mengerucut pada satu kesimpulan. Anak-anak itu bermaksud menyumbangkan uang kas kelas pada guru mereka. Sejumlah uang itu tentulah tidak sebanding dengan kebutuhan hidup seorang guru. Tapi masalahnya, dari sekian banyak guru di sekolah itu, siapakah yang lebih berhak menerima pemberian itu?
*****
Sejak perceraian yang menyakitkan itu terjadi, Bapak memuntahkan esedihannya lewat tulisan. Dia seperti kesurupan kalau sudah di depan mesin tik. Jemarinya melompat-lompat begitu liar, seliar ide dan imajinasi yang ada di benaknya. Dia benar-benar produktif berkarya. Putri memutuskan ikut Bapak. Biarlah dua adiknya yang masih kecil ikut Ibu. Putri ingin belajar pada Bapak bagaimana menghayati hidup dengan sederhana dan bersahaja. Diam-diam, Putri pun bercita-cita ingin seperti Bapaknya.
*****
Angin menabuh daun-daun. Terik matahari begitu menyengat. Debu-debu beterbangan dibawa angin. Musim kemarau seakan enggan bersahabat pada manusia di muka bumi.
Dari balik bingkai jendela, Putri memandangi daun-daun yang menguning dan berguguran di halaman rumahnya, dihalau angin kemarau. Putri mendesah gamang. Aduhai, lihatlah daun-daun itu. Seburuk apa pun mereka diperlakukan cuaca, mereka akan kembali menjadi humus yang menyuburkan. Tapi, kenapa kadangkala hidup tak sesuai dengan apa yang diharapkan?
Putri hanya mengurung diri dalam kamar ketika Bapak sedang meladeni beberapa tamunya. Sayup-sayup didengarnya percakapan antara Bapak dengan mereka. Hati gadis belia itu seperti disayat-sayat.
"Pak Sukri, kami harap Bapak berkenan menerima pemberian kami ini, sebagai rasa simpati kami semua terhadap perjuangan Bapak."
"Kami mohon Bapak tidak berkecil hati. Tidak ada maksud kami melecehkan profesi Bapak. Kami tahu Bapak adalah guru dengan idealisme tinggi. Kami juga tahu, kami tidak akan pernah bisa membalas jasa Bapak. Hanya ini yang bisa kami berikan sebagai tanda terima kasih kami."
Sungguh, ingin rasanya Putri menjerit sekuatnya. Tapi sebisa mungkin dia tahan. Putri tidak tahu bagaimana menghadapi kenyataan ini. Putri ingin lari sejauh mungkin. Lari dari kepedihan yang menghimpit jiwanya. Ah, hidup memang kejam. Sesengit apa pun meladeninya, tetap saja mereka terpojok. "Tuhan, seperti apakah posisi kami di hadapanMu sesungguhnya?" gugat Putri dalam hati.
*****
Putri terbangun ketika malam telah bertengger di puncaknya. Dinyalakannya lampu kamar. Pukul dua dini hari. Dia merasa matanya sembab dan bengkak. Rupanya sejak sore tadi dia tertidur beralaskan bantal yang basah oleh airmata. Di luar sana, kesunyian telah sempurna mengepung kota. Sayup-sayup terdengar suara tiang listrik dipukul seseorang. Digelitiki rasa penasaran, Putri melangkah menuju ruang tamu. Tebakannya tak meleset. Dia mendapati Bapak masih berkutat menyelesaikan pekerjaannya. Kertas-kertas berserak di meja dan lantai. Ada bukit kecil di asbak, terbuat dari puntung-puntung rokok. Tiga gelas kopi yang sudah kosong membeku di dekat Bapak.
Tiba-tiba suara mesin tik berhenti. Menyadari ada yang sedang memperhatikannya, Bapak melirik Putri yang berdiri di dekatnya. Dari balik kaca mata tebal itu, Putri masih dapat melihat jendela hati Bapak yang kuyu. Mungkin, dia sedang sebisa mungkin menahan rasa sedih dan kecewa. Ah, betapa ketabahanku tidak ada apa-apanya dibandingkan ketabahan Bapak. Putri mendesah samar.
Dengan suara tersendat-sendat seperti caranya mengetik, Bapak menceritakan kedatangan teman-teman Putri sore tadi. Putri benar-benar bingung. Mulutnya serasa terkunci.
"Kamu masih percaya bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, Putri?" tanya Bapak di penghujung ceritanya. Suaranya berat dan gamang. Pertanyaan itu membuat Putri terkejut. Dia tidak menyangka Bapak akan bertanya seperti itu. Ragu-ragu ditatapnya Bapak. Tapi Bapak malah balik menatap Putri dengan mimik menunggu. Putri hafal tatapan itu. Tatapan seorang guru yang menunggu jawaban dari muridnya. Putri gugup, menelan ludah seperti menelan sebutir paku. Pak Guru Sukri masih menunggu jawaban dari muridnya.
Puti diam. Pak Sukri pun diam. Detik-detik berlalu dalam kebisuan. Tak ada angin berembus. Sunyi menciptakan jarak yang terasa panjang dan menyakitkan.
"Mulai detik ini, belajarlah untuk melupakannya, anakku. Itu cuma omong kosong," pinta Pak Sukri pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Suaranya terasa getir dan parau. Sangat parau.
***

Mawar Biru Untuk Novia

Cerita Pendek Ahmadun Y Herfanda
UDARA seperti membeku di Adelweis Room, sebuah kamar rawat inap, di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Dan, di tempat tidur yang serba putih, Novia terbaring beku dalam waktu yang juga membeku. Ia tidak berani menghitung lagi berapa kali jarum jam di ruangan itu melewati angka dua belas, makin mendekati ajal yang bakal menjemputnya.
Dokter telah memprediksi usianya tinggal sekitar sebulan karena leukimia yang akut, dan satu-satunya yang ia tunggu dari kekasihnya adalah sekuntum mawar biru. Ya, mawar biru. Bukan mawar merah atau putih. Dan, hanya sekuntum, bukan seikat atau sekeranjang.
Tapi, adakah mawar berwarna biru? Sang kekasih, Norhuda, sebenarnya tidak yakin. Yang pernah ia lihat adalah mawar merah, putih, atau kuning. Ketiganya tumbuh dan berbunga lebat di halaman rumahnya. Tapi, mawar biru? Ia tidak yakin. Bunga berwarna biru yang pernah ia lihat hanya anggrek bulan dan anyelir. Itupun bukan persis biru, tapi keunguan.
“Apa kau yakin ada mawar berwarna biru, Sayang?”
“Aku yakin. Aku pernah melihatnya.”
 “Bukan dalam mimpi?”
  “Bukan. Di sebuah taman. Tapi, aku lupa taman itu. Rasa-rasanya di Jakarta.”
Norhuda terdiam. Dari bola matanya terpancar keraguan, dan itu ditangkap oleh Novia.
 “Carilah, Sayang. Jangan ragu-ragu. Hanya itu yang aku pinta darimu, sebagai permintaan terakhirku. Carilah dengan rasa cinta.” Novia berusaha meyakinkan.
Maka, dengan rasa cinta, berangkatlah Norhuda mencari sekuntum mawar biru permintaan kekasihnya itu. Ia langsung menuju taman-taman kota Jakarta, dan menyelusuri seluruh sudutnya. Tidak menemukannya di sana, ia pun menyelusuri semua taman milik para penjual tanaman hias dan toko bunga. Bahkan ia juga keluar masuk kampung dan kompleks perumahan serta real estate , memeriksa tiap halaman rumah dan taman-taman di sana. Berhari-hari ia bertanya-tanya ke sana kemari, mencari mawar berwarna biru.
 “Bunga mawar berwarna biru adanya di mana ya? Aku sedang membutuhkannya!” tanyanya pada seorang mahasiswa IPB, kawan kentalnya.
 “Ah, ada-ada saja kamu. Biar kamu cari sampai ke ujung dunia pun enggak bakal ada.”
 “Tapi, Novia pernah melihatnya.”
 “Bunga kertas kali!”
 “Jangan bercanda! Ini serius. Usia dia tinggal dua minggu lagi. Hanya sekuntum mawar biru yang dia minta dariku untuk dibawa mati.”
 “Kalau memang tidak ada harus bilang bagaimana?”
Norhuda lemas mendengar jawaban itu. Ia sadar, siapa pun tidak akan dapat menemukan sesuatu yang tidak pernah ada, kecuali jika Tuhan tiba-tiba menciptakannya. Tapi bagaimana ia harus meyakinkan Novia bahwa mawar itu memang tidak ada, selain dalam mimpi. Jangan-jangan ia memang melihatnya hanya dalam mimpi?
NORHUDA duduk tercenung di bangku taman, di salah satu sudut Taman Monas. Ia menyapukan lagi pandangannya ke seluruh sudut taman itu – pekerjaan yang sudah dia ulang-ulang sampai bosan. Ia masih berharap dapat menemukan mawar biru di sana, atau sebuah keajaiban yang bisa memunculkan sekuntum mawar biru di tengah hamparan rumput taman itu. “Bukankah Tuhan memiliki kekuatan kun fayakun ? Kalau Tuhan berkata ‘jadi!' maka ‘jadilah'. Ya, kenapa aku tidak berdoa, memohon padaNya saja?” pikirnya.
 “Ya Allah, dengan kekuatan kun fa yakun- Mu , mekarkanlah sekuntum mawar biru di depanku saat ini juga,” teriak Norhuda tiba-tiba, sambil berdiri, menadahkan tangan dan mendongak ke langit.
Tak lama kemudian ada seorang lelaki tua jembel, dengan kaus robek-robek dan celana lusuh, mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Bau bacin langsung menusuk hidung Norhuda dan membuatnya mau muntah. Jembel ini pasti tak pernah mandi, pikirnya. Norhuda mengangkat pantatnya, bermaksud segera pindah ke bangku lain. Tapi, orang tua itu tiba-tiba bersuara parau:
“Maaf, Nak. Bolehkah saya minta tolong?”
“Minta tolong apa, Pak?”
“Rumah Bapak di seberang sana . Bapak tidak berani menyeberang sendiri. Takut tersesat. Ugh ugh ugh.”
Orang tua, yang ternyata tuna netra, itu batuk-batuk dan meludah sembarangan. Norhuda makin jijik saja.
“Kota ini betul-betul seperti hutan, menyesatkan. Banyak binatang buasnya. Harimau, buaya, badak, ular berbisa, tikus busuk, kadal, bunglon, kecoa, semua ada di sini. Kau harus hati-hati, Nak, agar tidak jadi korban mereka.”
“Bapak mau pulang sekarang?”
“Ya ya, Nak. Diantar sampai rumah ya?”
Norhuda pusing juga. Mencari bunga mawar biru belum ketemu, tiba-tiba kini ada orang tua jembel minta diantar pulang. Sampai rumahnya pula. Dan selama itu ia harus menahan muntah karena bau bacin lelaki tua itu. Meski hatinya agak berat, Norhuda terpaksa menuntun lelaki tuna netra itu. Ia harus sering-sering menahan nafas untuk menolak bau bacin tubuh lelaki tua itu.
“Bapak tinggal di kampung apa?”
“Di kampung seberang.”
“Aduh…. Bapak tadi naik apa ke sini?”
“Kereta api listrik.  Tadi Bapak naik dari Bogor , mau pulang, tapi kebablasan sampai sini. Jadi, tolong diantar ya, Nak. Bapak takut kebablasan lagi.”
Norhuda terpaksa mengantar orang tua tunanetra itu, dengan naik KRL dari stasiun Gambir. Begitu naik ke dalam gerbong, lelaki gembel itu langsung mempraktikkan profesinya, mengemis, dan Norhuda dipaksa menuntunnya dari penumpang ke penumpang. Maka, jadilah dia pengemis bersama tunanetra itu, dengan menahan rasa malu dan cemas kalau-kalau kepergok kawannya
“Maaf ya, Nak. Bapak hanya bisa meminta-minta seperti ini untuk menyambung hidup. Tapi, Bapak rasa ini lebih baik dari pada jadi maling atau koruptor. Dulu Bapak pernah jadi tukang pijat. Tapi sekarang tidak laku lagi, karena sudah terlalu tua,” kilah lelaki gembel itu.
                                    ***
TURUN dari KRL di Stasiun Lenteng Agung, hari sudah sore. Lelaki tua itu mengajak Norhuda menyeberang ke arah timur, kemudian mengajak menyusur sebuah gang. Tiap ditanya rumahnya di sebelah mana, di gang apa, RT berapa dan RW berapa, lelaki tua itu selalu menunjuk ke timur, hingga keduanya sampai di tepi Kali Ciliwung. Pada saat itulah, tanpa sengaja, Norhuda melihat segerumbul tanaman dengan bunga-bunga berwarna biru tumbuh di pinggir sebuah hamparan rerumputan.
“Sebentar, Pak, saya membutuhkan bunga itu.”
Norhuda bergegas ke tanaman bunga itu, dan betul, bunga mawar biru, yang tumbuh liar di tepi hamparan rerumputan di pinggir jalan setapak yang menyusur lereng Kali Ciliwung. Dia langsung berjongkok dan dengan penuh suka cita memetik beberapa kuntum, serta mencium-ciumnya dengan penuh gairah. Harum bunga itu begitu menyengat, seperti bau parfum yang mahal. Saat itulah, tiba-tiba terdengar suara parau lelaki tua yang tadi bersamanya dari arah belakangnya:
“Nak, ini uangmu. Saya taruh di sini ya. Saya pamit dulu.”
Norhuda langsung berpaling ke arah suara itu. Tapi tak ada siapa-siapa, kecuali sebuah kantong kain lusuh teronggok persis di belakangnya. Dengan matanya, Norhuda mencari-cari lelaki tua itu di tiap sudut jalan dan tepi kali, tapi tidak menemukannya. Aneh, lelaki itu raib begitu saja, pikirnya.
Norhuda merasa sedikit takut. Pikirannya menebak-nebak siapa lelaki gembel yang membawanya ke tempat itu dan raib begitu saja. Malaikatkah dia? Jin? Atau Nabi Hidir? Ia pernah mendengar kisah tentang Nabi Hidir yang konon hidup di sepanjang sungai dan suka menyamar menjadi lelaki gembel. Norhuda merinding memikirkannya.
                                    ***
SETELAH mawar biru ada di tangannya, satu-satunya yang terpikir oleh Norhuda adalah segera membawanya kepada kekasihnya, Sovia, yang sedang sekarat di RS Fatmawati. Ia sangaja memilih taksi untuk meluncur cepat ke sana .
Di Adelweis Room, Novia sudah koma. Tangannya diinfus darah merah,  hidungnya ditutup masker oksigen. Matanya terpejam dengan rona wajah pucat pasi. Ayah dan ibu sang gadis duduk di dekatnya dengan wajah cemas.
Dengan perasaan cemas pula Norhuda mendekati Sovia dan berbisik di telinganya, “Novia, kau dengar aku. Aku sudah menemukan mawar biru yang kau tunggu. Ini aku bawakan untukmu.”
Tiba-tiba gadis itu membuka matanya, dan pelan-pelan tangannya bergerak, membuka masker oksigen dari hidungnya.
“Mana bunga itu, Sayang,” katanya lirih.
“Ini.”
Dengan tangan kanannya Novia meraih bunga itu, lalu menempelkan ke hidungnya dan menyedot harumnya dengan penuh gairah. Pelan-pelan rona wajahnya menjadi segar.
“Bunga ini akan menyembuhkanku. Ini bunga yang kulihat dalam mimpi. Ini pasti bunga dari sorga. Syukurlah, kau dapat menemukannya. Aku akan memakannya.”
Novia benar-benar memakan bunga itu, helai demi helai kelopaknya. Sesaat kemudian, dengan bibir menyunggingkan senyum, pelan-pelan ia memejamkan matanya. Ia tertidur dengan mendekap sekuntum mawar biru yang tersisa.
Pamulang, April 2004

Pembuat Kubah dan Tukang Pos

Cerita Pendek Adek Alwi
IA lelaki tua pembuat kubah yang bekerja setelah fajar dan berhenti saat pudar matahari. Tujuh hari sepekan, tiga puluh hari sebulan, dise- ling kegiatan lain yang tak dapat diabaikan: makan, tidur, ke masjid tiap Jumat, bersapaan dengan tetangga atau kenalan yang lewat.
Juga dengan tukang pos muda yang selalu berhenti di tepi jalan di luar pagar halaman.
Tiap kali sepeda motor tukang pos itu terdengar, si tua itu akan menelengkan kepala yang nyaris botak serta beruban. Menegak-negakkan punggung yang bungkuk, mendekat tertatih-tatih. "Wah. Kosong, Pak Kubah!" sambut tukang pos.
"Kosong?"
"Mungkin besok," suara tukang pos seperti membujuk.
"Ya, mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut.
"Banyak surat diantar hari ini?"
"Lumayan, Pak Kubah. Semoga isinya pun berita gembira."
"Mudah-mudahan. Menyenangkan dapat menggembirakan orang, Pak Pos."
"Tapi awak hanya tukang pos, Pak Kubah." "Hehehe. Tidak ada Pak Pos kegembiraan malah tak sampai."
"Terima kasih. Mudah-mudahan besok giliran Pak Kubah."
Tukang pos itu selalu berhenti di luar pagar meski tahu tidak ada surat untuk laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu tidak punya siapa-siapa dalam hidupnya. Kecuali tetangga, pemesan kubah, orang lepau tempat makan serta penjual bahan untuk kubah.
Istrinya meninggal belasan tahun lalu. Satu-satunya anaknya, lelaki, mati waktu kecil. Tetapi si tua itu mengesankan seolah anak itu masih ada, sudah dewasa, dan merantau seperti lazimnya anak-anak muda kota itu. Begitu didengar si tukang pos muda waktu baru bertugas di kota itu, menggantikan tukang pos tua yang kini pensiun.
"Kurang waras?" tukang pos muda itu bertanya pada tukang pos tua.
"Tidak. Malah ramah, juga rajin. Kerja sejak pagi, berhenti menjelang magrib. Bayangkan. Tiap hari begitu, berpuluh tahun."
"Sejak muda membuat kubah?"
"Kata orang, sejak kecil," ujar tukang pos tua. "Langganannya tidak cuma dari kota ini saja. Dan tak pernah dia pasang tarif."
"Maksud Bapak?"
"Ia hanya menyebut modal pembuat kubah. Terserah, mau dibayar berapa."
"Wah!"
"Punggungnya pun tambah bungkuk tiap selesai bikin kubah." Tukang pos muda itu kembali melongo. "Maksudnya bagaimana?" "Punggung pembuat kubah itu," kata tukang pos tua menjelaskan. "Tiap kali selesai membuat kubah tampak makin lengkung, sehingga mukanya seperti mendekat terus ke tanah. Seolah-olah ingin mencium tanah!"
Mungkin karena cerita-cerita itu, atau iba pada kesendirian lelaki tua itu serta takjub melihat ketabahannya menanti surat yang tak kunjung tiba, si tukang pos muda akhirnya mengabulkan permintaan tukang pos tua. Kecuali hari libur dan Minggu ia berhenti di pinggir jalan, mengucapkan tidak ada surat dan bicara sejenak dengan si pembuat kubah. Saat ia melaju lagi di jalan dilihatnya lelaki tua itu kembali bekerja. Punggungnya lengkung, amat lengkung tak ubahnya batang-batang padi.
"Nah! Betul, kan ?" sambut tukang pos tua ketika tukang pos muda itu bertamu sore-sore dan bercerita.
Tukang pos muda itu membenarkan. "Tapi kenapa bisa begitu?" tanyanya.
"Tidak ada yang tahu. Sejak tugas di kota ini saya dapati seperti itu. Boleh jadi hanya pembuat kubah itu sendiri yang tahu."
"Tidak pernah Bapak tanya?"
"Tak tega saya. Dia baik dan ramah sekali," jawab tukang pos tua. "Saya cuma singgah tiap hari, bicara sebentar saling bertanya kabar, lalu bilang tidak ada surat dan mungkin besok."
Tetapi tukang pos muda itu tega bertanya. Dan pembuat kubah tua itu terkekeh mendengarnya. "Ada-ada saja," katanya. "Padi memang begitu, Pak Pos. Eh mestinya hati manusia juga, ya. Tetapi punggung saya, hehehe, ada-ada saja Pak Pos Tua dan orang-orang itu."
"Jadi Pak Kubah sama sekali tidak merasa, bahwa punggung,"
"Hehehe. Punggung ini tentu tambah bungkuk, Pak Pos. Maklum, makin tua. Agaknya setua ayah Pak Pos. Ah, tidak. Pasti saya lebih tua. Pasti. Tapi anak saya ya, anak saya mungkin sebaya Pak Pos. Eh, belum ada surat dia?"
"Oh. Belum, Pak Kubah. Kosong. Mudah-mudahan besok."
"Ya, ya. Mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut.
Sejak itu si tukang pos muda berhenti di pinggir jalan di luar pagar si pembuat kubah. Tidak kecuali libur atau Minggu. Apalagi sebagai orang baru di kota itu belum banyak dia punya kenalan, untuk kawan berbincang seusai kerja atau saat senggang. Ibunya di kampung sudah mencarikan gadis buat pendamping hidupnya, dan tukang pos muda itu pun telah setuju, tetapi belum berani melamar mengingat gaji yang tak memadai untuk hidup berdua. Dia juga tidak mendamba yang muluk-muluk. Tapi, menurutnya, hidup dalam perkawinan seyogianya lebih baik daripada saat sendiri. Kadang tukang pos itu juga memarkir sepeda motornya di halaman merangkap bengkel lelaki tua itu, hingga mereka leluasa bercakap-cakap. Pembuat kubah itu pun senang ditemani. Kadang-kadang, meski dicegah si tukang pos dia berteriak ke lepau seberang jalan memesan dua gelas the juga pisang goreng, lalu bercakap-cakap sambil minum teh serta menyantap pisang goreng.
Pembuat kubah itu bercakap-cakap sambil bekerja dan tukang pos muda itu memperhatikan serta bertanya-tanya. Wajah lelaki tua itu dilihatnya berseri-seri meski kulitnya keriput. Lengannya coklat, kukuh serupa kayu. Urat-urat di tangannya hijau bertonjolan, melingkar-lingkar. Tangan tua itu amat cekatan melipat atau membulat-bulatkan seng. Menggunting, atau menokok-nokok dengan palu kayu. Atau mematri. Semua dilakukan pembuat kubah itu tanpa buru-buru, sambil bercakap-cakap dengan si tukang pos.
"Hebat!" puji si tukang pos muda.
"Ya?"
"Hebat benar Pak Kubah bekerja!" ulang tukang pos.
"Cekatan, seolah mudah saja pekerjaan itu buat Pak Kubah."
"Hehehe. Alah bisa karena biasa, Pak Pos. Seperti Pak Pos mengantar surat dengan sepeda motor."
"Dan ikhlas," ujar si tukang pos.
"Ya, ya. Kalau tidak tentu berat terasa," sambut si pembuat kubah.
Mereka terus bercakap-cakap, dan tukang pos muda terus pula memperhatikan tangan si pembuat kubah. Juga tubuhnya. Tubuh lelaki tua itu tentu akan tampak lebih tinggi, juga besar, kalau saja punggungnya tidak melengkung bungkuk dan badannya lisut. Tetapi wajahnya selalu berseri meski kulitnya keriput. Tukang pos itu berpikir, apakah wajah ayahnya, yang samar-samar saja ia ingat, akan keriput dan berseri andai sempat jadi tua. Jika tak wafat saat dia di sekolah dasar. Wajahnya juga. Apakah nanti keriput, juga berseri, bila Tuhan memberi dia usia panjang seperti tukang kubah itu?
"Berapa umur Pak Kubah tahun ini?"
"Hehehe. Tidak jelas, Pak Pos. Tapi pasti sudah panjang, sebab punggung ini tak kuat lagi menyangga tubuh." Pembuat kubah itu kembali tertawa.
Musim hujan kemudian singgah di kota itu. Meski tidak selalu lebat dan lebih kerap berujud gerimis tapi tiap hari mendesis. Kadang-kadang sore, sepanjang malam, pagi, atau siang hari. Tukang pos itu berteduh di bawah pohon atau emperan toko bila hujan turun deras, dan kembali berkeliling ketika hujan menjelma gerimis. Tubuhnya tertutup mantel, sebatas leher ke atas saja mencogok bak kura-kura. Tapi di kepalanya ada pet. Dan mukanya ditutupi sapu tangan seperti perampok.
Pembuat kubah itu sudah menggeser tempat kerjanya dari bawah pohon jambu ke emperan rumah agar terhindar dari hujan maupun tempias. Sedikit jauh dari pagar. Tetapi telinga si tua itu tajam. Tiap kali terdengar suara sepeda motor si tukang pos ia teleng-telengkan kepalanya. Tukang pos itu mulanya hendak lewat saja karena sapu tangannya sudah kuyup, mukanya perih ditusuk-tusuk gerimis. Atau cukup melambai, dan teriak, "Kosong, Pak Kubah!" Namun, dia tepikan sepeda motor begitu tiba dekat pagar laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu mendekat tertatih-tatih setelah menegak-negakkan punggung.
"Wah. Kosong, Pak Kubah!"
"Kosong?"
"Kosong. Tapi mungkin besok."
"Ya, ya. Besok. Mudah-mudahan. Singgahlah dulu. Ngopi."
"Terima kasih. Masih banyak surat harus diantar." Tukang pos itu lalu melaju. Sejenak dilihatnya si tua itu tertatih-tatih di bawah gerimis, melangkah kembali menuju emperan rumah. Punggungnya makin bungkuk, seolah ingin sekali mencium tanah.
Seperti biasa musim hujan cukup lama di kota itu. Atap, pohon, dan jalan-jalan tidak pernah kering. Orang-orang berpayung ke mana-mana. Berbaju hangat, jas, jaket atau mantel, sebab angin juga rajin bertiup meski tak pernah berubah jadi badai.
Tukang pos itu juga tak lepas-lepas dari mantel, pet serta sapu tangan menutup sebagian wajahnya. Dan walau sejenak, dengan muka terlihat makin putih juga perih ditusuk gerimis, ia berhenti dekat pagar berucap "kosong Pak Kubah, mungkin besok" dengan suara, bibir dan dada bergetar. Kemudian dilihatnya pula lelaki tua itu kembali melangkah, terbungkuk-bungkuk di bawah gerimis menuju emperan rumah.
Tetapi suatu hari, tukang pos itu merasa jadi manusia paling bahagia sedunia. Meski masih pucat, malah kian perih ditusuk gerimis yang terus mendesis, wajahnya berseri-seri. Belum tiga menit lalu dia bersorak kepada pembuat kubah itu, dan kali ini tidak dengan dada serta suara yang bergetar. " Surat Pak Kubah!"
" Surat ?"
"Ya. Surat ! Dari anak Pak Kubah!"
Pembuat kubah itu menerimanya dengan jari-jari bergetar. Dan saat si tukang pos itu melaju pula di jalan, dilihatnya laki-laki tua itu masih berdiri di bawah rinyai hujan, melambai-lambaikan tangan. ***
@ Lenteng Agung, 23 Juli 2005 

by ; ceritaindonesia.angelfire.com

Percintaan Kepompong

Cerita Pendek Ahmadun Y Herfanda
Setiap melihat kepompong di daun palem di teras rumahku aku selalu ingat
kata-kata kekasihku: kita, kau dan aku, adalah kepompong, yang menunggu waktu untuk lepas dari bungkusnya dan terbang menjadi kupu-kupu, belalang, atau mungkin burung jiwa.
"Aku lebih suka kupu-kupu. Dengan sayap-sayap bercahaya kita akan terbang ke langit," ujar kekasihku, penuh imajinasi..
Tetapi, aku merasa terlalu lama jiwaku tidur di dalam kepompong itu, entah berapa abad. Namun, kekasihku yakin, makin lama kita bersemayam di dalamnya, akan makin matanglah jiwa kita, dan makin perkasa pula raga kita. "Kalau kau jadi kupu-kupu, kau akan jadi kupu-kupu yang kuat. Kalau kau jadi belalang, akan jadi belalang yang perkasa," katanya.
Tapi, bagaimana kalau kita tidak menjadi apa-apa, atau bahkan mati di dalam kepompong itu, karena tidak punya kekuatan lagi untuk melepaskan diri dari kungkungan derita. "Ah tidak. Kita sedang berproses," katanya. "Kita harus jalani proses itu untuk menjadi."
Untuk menjadi? Menjadi apa? Aku tidak tahu jawabannya, sebab aku tidak punya cita-cita. Aku ingin hidup mengalir saja bagai air, berembus bagai angin, menyebar bagai pasir, meresap bagai garam, menyusup bagai rumput-rumput jiwa.
Tetapi, seperti kata kekasihku, aku jalani juga hidupku sebagai proses proses untuk menjadi. Aku jalani hari-hari manis, juga hari-hari pahit, bersama orang-orang yang bersentuhan denganku, bersama jiwa-jiwa yang bersedia berbagi. Kuliah, pacaran, bekerja, membangun karier, bertahun-tahun, berabad-abad, sampai serasa lumutan.
Tapi, aku sungguh tidak tahan menghadapi tahapan membujang terlalu lama takut menjadi bujang lapuk. Maka, aku pun menikah begitu menemukan gadis yang aku sukai dan bersedia berbagi meskipun lebih banyak berbagi duka sebelum kuntuntaskan cintaku padanya. Sementara, kekasihku begitu tahan menjalani tahapan itu, membujang begitu lama, setidaknya sampai kami bertemu lagi di Jakarta.
"Aku ingin kukuh dalam cinta, cinta pertama," katanya. Aku terkejut sekaligus terpana. "Bukankah kita masih dalam kepompong cinta yang sama? Sayap-sayap kita sedang tumbuh untuk bisa terbang sebagai kupu-kupu, bersama," tambahnya. Imajinatif sekali. Melebihi imajinasi seorang pujangga.
"Tapi aku sudah menikah dan punya anak. Aku bukan lagi yang dulu," kataku. "Masuklah kembali engkau ke dalam kepompongku untuk bercinta seperti dulu," katanya.
"Tapi, bagaimana dengan kepompongku?"
"Buang saja. Tidak ada gunanya. Ia telah pecah oleh perkawinanmu yang tanpa cinta itu."
"Apa? Tanpa cinta? Ah... kau keliru. Aku mencintai istriku."
"Bagaimana engkau bisa berkata begitu jika cintamu tertinggal di sini, di dalam kepompongku. Tiap saat aku dapat merasakan denyutnya."
Aku ingin membantah kata-katanya, bahwa aku benar-benar mencintai istriku, meskipun pada saat yang sama juga mencintai kekasihku. Bukankah lelaki biasa membagi cinta, sebab kodrat lelaki memang poligamis? Karena itu, meskipun aku telah memberikan cinta pada istriku, masih bisa juga aku mencintainya. "Aku masih mencintaimu. Aku masih berhasrat menyatukan jiwa dalam kepompong cintamu," kataku akhirnya.
Sejujurnya, aku memang tidak dapat membohongi hati kecilku bahwa aku menikah bukan semata-mata karena cinta. Tapi, lebih karena tanggung jawab dan kewajiban. Aku memang mencintai istriku, tapi hanya dengan setengah hatiku. Sebab, seperti kata kekasihku, separuh cintaku masih tertinggal dan berdenyut di dalam kepompongnya.
Dan, begitulah. Hari-hari kulalui dalam percintaan ganda. Di rumah aku
bercinta dengan istriku, berkasih sayang dengan anak-anakku, dan membangun kehidupan sakinah dengan mereka. Pada hari-hari tertentu aku mengimami shalat mereka, dan menemani mereka membaca Alquran dalam kasih sayang Yang Maha Kuasa. Tetapi, di luar rumah aku selalu rindu untuk memasuki kepompong cinta kekasihku, memenuhi yang belum terpenuhi, mencintai yang belum tercintai.
Kadang-kadang, bosan bermain kata-kata dalam imajinasi-imajinasi indah itu ini yang selalu aku lakukan sambil menatap wajahnya yang ayu dan senyumnya yang bagai irisan salju kami menciptakan kepompong dari selimut tebal di suatu tempat yang sejuk dan sepi.
"Saatnya kita masuk ke dalam kepompong yang sebenarnya," katanya tiap kali kami merentangkan selimut tebal seperti biasa.
Dan, kami pun berada di dalam selimut yang menutup sejak ujung kaki sampai ujung rambut kami. Seperti dulu, ketika kami masih sama-sama di Yogya, aku kembali merasakan hangat tubuhnya, degup jantungnya, lembut nafasnya, dan harum rambutnya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya.
"Kita tidur seperti bayi kupu-kupu sampai sayap-sayap kita tumbuh dengan perkasa untuk terbang ke langit bersama," kataku.
"Apakah kau masih tidak ingin menikmati keperawananku."
"Siapa tidak ingin menikmati keperawanan gadis secantik kau? Tapi, tidak. Aku tidak ingin merampas hak suamimu. Siapapun dia, kelak. Aku lebih suka menjaga kemurnian cinta kita, tanpa seks!"
"Kau memang lelaki yang luar biasa."
"Luar biasa bodohnya, maksudmu?"
"Ha ha ha…!"
Kekasihku tertawa di dalam selimut, cukup keras, hingga kepompong cinta kami serasa bergetar mau pecah. Tentu, menertawai kebodohanku. Tetapi, anehnya, sepuluh tahun lebih, dia tetap sabar mempertahankan cintanya pada lelaki bodoh seperti aku. Bukankah itu berarti dia, kekasihku, juga bodoh sepertiku? Ya, mau-maunya dia terus mencintai lelaki yang tidak mungkin lagi mengawininya, karena sudah beristri dan beranak. Apakah cinta memang misteri yang sulit dipahami, yang sulit ditolak kehadirannya dan sulit diusir pergi? Atau, kami memang orang-orang aneh yang ingin terus bercinta sebatas keindahan imajinasi?
Sebagai wanita karier yang cukup jelita bukannya tidak pernah ada lelaki lain yang menginginkan kekasihku. Banyak. Banyak sekali. Beberapa kali aku pun perah memergoki dia berjalan dengan seorang lelaki di suatu mal atau lobi bioskop. Tetapi, lagi-lagi, tiap kali kupergoki begitu, tidak lama kemudian dia langsung meneleponku bahwa lelaki itu hanya kawan biasa.
Suatu hari pernah pula aku melihat kekasihku dikejar-kejar oleh seorang manajer tempatnya bekerja. Aku dengar lelaki itu sangat tertarik padanya. Kekasihku didekati dengan sedannya yang mulus, dibukakan pintu dan dipersilakan masuk. Tetapi, dengan halus kekasihku menolaknya. Dan, ketika kutanya mengapa, kekasihku hanya menjawab, "Aku masih suka tidur sebagai bayi kupu-kupu di dalam kepompong cinta kita."
Kadang-kadang aku merasa khawatir juga, jangan-jangan kekasihku benar-benar menunggu lamaranku untuk kunikahi. Sebab, suatu hari ia pernah mengatakan, "aku sering merasa diciptakan hanya untukmu." Dan, bukannya aku tidak berani melamar dan menikahinya, atau bermaksud sengaja mempermainkannya. Sama sekali tidak! Tetapi, lebih karena aku sudah memiliki anak dan istri, dan sejujurnya belum punya nyali untuk berpoligami. Kadang-kadang, aku ingin nekat saja menikahinya sebagai istri kedua. Tetapi, tiap aku menatap wajah istri dan anak-anakku yang polos-polos yang tidak berdosa, yang saat tidur seperti menyerahkan seluruh nasibnya padaku, aku menjadi tidak sampai hati melakukannya. Aku tidak tega membayangkan keluargaku, yang aku bina sepuluh tahun lebih, tiba-tiba tercerai berai karena pernikahan keduaku.
Tetapi, bagaimana kalau kekasihku memang benar-benar menungguku, dan terus menungguku bertahun-tahun lagi, berpuluh-puluh tahun lagi, berabad-abad lagi, sampai hilang seluruh kecantikannya secara sia-sia? Bukankah itu artinya aku menyia-nyiakannya? Bukankah itu artinya aku juga berdosa?
Berhari-hari lagi, berbulan-bulan lagi, bertahun-tahun lagi, seperti keyakinan kekasihku, kami terus berproses untuk menjadi. Entah menjadi apa. Berkali-kali kami mencoba tidur bersama lagi, bagai dua bayi kupu-kupu, di dalam satu kepompong cinta. Tetapi, belum juga tumbuh sayap-sayap perkasa di tubuh kami untuk terbang ke langit bersama-sama.
Aku makin suntuk dengan anak-anakku, memikirkan sekolah dan masa depan mereka. Aku juga makin sibuk dengan lemburan dan pekerjaan-pekerjaan sambilanku untuk menutup defisit biaya hidup di Jakarta yang semakin mahal saja. Sementara, kekasihku juga makin suntuk dengan kariernya yang terus menanjak, dan kini menduduki posisi sebagai seorang manajer. Kudengar bahkan dia sedang diproyeksikan untuk menduduki salah satu jabatan di jajaran direksi. "Syukurlah," pikirku.
Makin hari kamipun makin jarang bertemu, karena kesibukan masing-masing. Bukannnya kami sudah tidak rindu lagi untuk tidur bersama sebagai bayi kupu-kupu di dalam kepompong cinta. Tapi, lebih karena waktu yang makin tidak memungkinkan untuk itu. Pada hari-hari liburku, Sabtu dan Minggu, aku lebih memilih berada di rumah atau pergi bersama keluarga, sedangkan kekasihku entah di mana. Beberapa kali, melalui telepon, kami masih sempat mengatur kencan seperti dulu, di hari kerja, tapi dialah yang membatalkannya karena harus menghadiri rapat penting yang mendadak di kantornya.
Dan, tiga tahun kemudian kekasihku benar-benar dipercaya sebagai salah seorang direktur di perusahaannya. Aku tahu dari undangan syukuran yang dikirimkannya padaku. Aku betul-betul menyempatkan diri untuk menghadirinya sekaligus ingin tahu sudah adakah lelaki yang beruntung dapat mendampinginya. Usai acara syukuran kami sengaja pulang belakangan untuk berbicara berdua. Ternyata dia masih sendiri seperti dulu, kesendirian yang membuat hatiku mendadak merasa berdosa dan pedih seketika.
"Apakah kau masih menyimpan kepompong cinta kita?" tanyaku.
"Ya," katanya. "Tapi, bayi kupu-kupu itu telah mati, karena terlalu lama menahan derita, menahan cinta yang tak sampai-sampai."
"Bukankah bayi itu kini telah tumbuh perkasa, menjadi wanita karier yang sukses?"
"Tidak. Aku bukan bayi kupu-kupu yang dulu. Kini aku adalah belalang dengan sayap-sayap perkasa yang mulai lapuk karena usia."
Aku kembali merasa tertohok oleh kata-katanya, tapi aku tiba-tiba juga merasa telah tua dan tidak patut lagi berimajinasi tentang cinta dengannya, bagaimanapun manis dan indahnya. Aku hanya merasa menyesal, kenapa dulu tidak cepat-cepat melamar perempuan yang begitu kukuh dengan cintanya. Selanjutnya aku hanya merasa bodoh dan tidak bisa berkata-kata lagi di depan keperkasaannya, sampai kekasihku beranjak dari kursinya dan mengucapkan "selamat tinggal" tanpa secercah senyumpun di bibirnya!
Jakarta , April 2004.

by ; ceritaindonesia.angelfire.com