Pages

Jumat, 15 April 2011

Balada sang Korban

Cerita Pendek Ahmadun Y Herfanda
MALAM  begitu gerah. Pak Salman gelisah. Becak yang selama ini merupakan satu-satunya sumber penghidupan bagi dia dan keluarganya akan dijual oleh juragannya. Alasannya, tidak lama lagi becak akan dilarang masuk Jakarta . Becak-becak yang ada akan dibersihkan dan dibuang ke laut. "Daripada dibuang ke laut, lebih baik dijual duluan ," kata sang juragan.
Sepulang dari kerja, Pak Salman membaringkan tubuhnya yang berkeringat di dipan bambu. Pikirannya dikacaukan bayangan masa depan yang sesuram knalpot bus kota . Ya, bagaimana nanti kalau uang Rp 20 ribu di kantongnya sudah habis untuk makan sehari-hari? Sedang dia sudah tidak menarik becak lagi. Jalan satu-satunya yang terlintas di benaknya adalah menjual barang-barang yang dia miliki. Tetapi kalau barang-barangnya sudah habis?
Pak Salman melirik barang-barang yang dia miliki: sebuah televisi bekas 12 inci dan sebuah radio transistor dua band yang warnanya mulai legam. Hanya itu yang dapat dijualnya. Dia menaksir paling banter hanya laku sekitar Rp 90 ribu dan hanya bisa untuk makan sekeluarga selama setengah bulan. Setelah itu, mencari sesuap nasi saja mungkin akan sangat sulit. Anak-anaknya masih kecil. Istrinya tidak bekerja. Belum lagi untuk membayar sewa rumah bulanan. Untuk mencari pekerjaan lain dalam waktu singkat sangat sulit. Ijazah dia tidak punya. Membaca saja masih terbata-bata. Padahal Kota Jakarta makin dipenuhi orang pintar yang masih menganggur dan setiap saat selalu rebutan pekerjaan.
Di kota yang makin padat ini orang seperti Pak Salman akan semakin tersisih. Dan dunia yang paling dekat dengan dia dan keluarganya adalah dunia gelandangan. Tidur di kolong jembatan, kalau masih ada tempat. Kalau tidak, terpaksa harus mau tidur di emper pertokoan Cina, pikirnya. Padahal, gelandangan juga makin banyak di Kota Jakarta. Tiap hari mereka meminta-minta di perempatan-perempatan jalan, di jembatan penyeberangan, di emper-emper pertokoan dan semakin berdesakan di kolong-kolong jembatan. Dia sangat ngeri membayangkan itu semua. Kepalanya terasa semakin berat dan napasnya semakin sesak.
Mbok Kasmi, istrinya, heran melihat tingkah Pak Salman yang tidak seperti biasa itu. Biasanya sehabis pulang kerja dia langsung minum bergelas-gelas air putih dan makan nasi setengah bakul. Hari itu minum seteguk air pun tidak. Lebih heran lagi, Pak Salman berbaring lesu sambil melamun, menopang kepalanya dengan kedua telapak tangannya, dan matanya menatap ke langit-langit, seperti pemuda yang sedang patah hati.
"Ada apa, Pak? Mbok ya makan dulu!" Mbok Kasmi memberanikan diri mendekati suaminya.
Pak Salman masih bungkam.
"Apakah kau sakit, Pak?"
"Aku sangat bingung, Bu. Besok sudah tidak bisa narik beca lagi."
"Lho, kenapa? Apa kau dikeluarkan?"
Pak Salman menggeleng. "Semua beca Pak Parto akan dijual," katanya lesu.
"Lalu kawan-kawanmu nanti akan kerja apa?"
"Mana aku tahu, Bu. Mereka tadi pulang dengan membisu. Aku sendiri bingung, untuk selanjutnya akan kerja apa? Padahal bisaku hanya menarik beca. Sebetulnya aku ya diberi pesangon, tapi hanya dua puluh ribu. Uang segitu dapat untuk apa, Bu? Untuk makan tiga hari saja akan habis. Dan dalam waktu itu aku belum tentu mendapat pekerjaan lain."
"Ya, Pak. Bagaimana hidup kita nanti kalau kau tidak bekerja?"
Pak Salman menggeleng dan hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Wajah Mbok Kasmi berubah sangat sedih. Pak Salman menyesal telah telanjur mengatakan kekhawatiran yang membayangi pikirannya. Air mata Mbok Kasmi menetes, air mata tua yang sedang berduka.
"Sudahlah, Bu. Jangan menangis. Berdoa saja semoga dalam waktu beberapa hari aku sudah mendapat pekerjaan lagi."
*
Pak Salman sesungguhnya sudah ikhlas menerima nasib sebagai penarik beca walaupun hasilnya hanya pas-pasan untuk menghidupi keluarganya. Meskipun kenyataannya cukup pahit, dia tetap bekerja dengan bersemangat dan gembira. Namun, ternyata Pak Parto, juragannya, punya rencana lain.
"Bapak-bapak, sebetulnya aku tidak tega melakukan hal ini. Tapi demi kebaikan kalian, hal ini terpaksa kulakukan. Aku merasa kasihan melihat kerja kalian semakin sepi. Kalian semakin terdesak. Daerah bebas beca semakin diperbanyak, dan sebentar lagi akan diberlakukan di seluruh Jakarta. Ditambah lagi semakin banyak bemo dan angkot yang operasinya semakin merata ke jalan-jalan kecil dan gang-gang, sehingga kita semakin tidak kebagian rezeki. Belum lagi kini kita juga harus bersaing dengan tukang-tukang ojek. Dan, yang lebih tidak dapat kita lawan, tidak lama lagi beca akan dilarang masuk Jakarta ," kata Pak Parto.
"Karena itu, semua beca akan saya jual. Besok pagi akan diangkut ke Semarang semua dan kalian dengan sendirinya sudah tidak dapat menarik beca saya lagi. Uangnya akan saya pakai untuk tambahan membeli dua minibus dan akan saya operasikan di jurusan Jakarta-Bogor. Kalau di antara kalian ada yang dapat menyetir dan mempunyai SIM A, boleh mengoperasikannya. Tetapi sudah tentu saya hanya butuh dua orang sopir saja."
Pak Salman dan kawan-kawannya hanya membisu ketika pidato itu diucapkan oleh Pak Parto di hadapan mereka. Ada yang hanya melongo memandang Pak Parto, sebagian ada yang hanya menatap langit kering karena musim kemarau, sebagian lagi hanya menunduk sambil memain-mainkan jemari kakinya di tanah seperti anak kecil.
*
Sudah setengah bulan lebih Pak Salman menjadi penganggur. Setiap pagi dia ke luar rumah untuk mencari pekerjaan, tetapi sorenya selalu pulang dengan tubuh lesu karena harapannya tidak tergapai. Dan hari ini uangnya hanya tinggal lima ribu rupiah. Televisi bekas dan radionya pun sudah ia jual di pasar loak Taman Puring. Itu berarti besok dia sudah tidak punya uang lagi. Dia hanya berani membawa dua ribu rupiah untuk ongkos mencari pekerjaan. Sisanya diberikan kepada istrinya untuk makan sehari. Kalau hari ini dia tidak berhasil mendapat uang dan pekerjaan, besok istri dan kelima anaknya tidak akan bisa makan lagi.
Sebelum berangkat Pak Salman memandangi anak-anaknya. Yang masih kecil sedang digendong ibunya, yang nomor dua dan tiga sedang bermain-main di teras rumah sewanya yang sempit, dan satu lagi yang paling besar sudah berangkat ke sekolah. Dengan memandang anak-anaknya, semangat Pak Salman timbul kembali.
Pak Salman sudah sangat jauh berjalan. Uang di sakunya sudah ludes untuk naik bus kota dan minum aqua di pinggir jalan. Dia merasa sangat lelah. Jalan-jalan raya sudah ditelusurinya semua. Bahkan dia sudah keluar masuk gang. Tetapi setiap mendatangi kantor, toko, pabrik, warung makan, dan rumah orang kaya, selalu disambut dengan perkataan: tidak ada lowongan kerja. Banyak pula yang mengatakan kelebihan tenaga. Dia sangat sedih menghadapi kenyataan itu.
Saat berjalan sambil melamun, hujan tiba-tiba turun dari langit yang mendung sejak siang tadi. Pak Salman cepat-cepat berlari ke teras rumah yang lebar. Dia berteduh di situ. Di sekelilingnya tampak sepi, kecuali orang-orang yang berlarian masuk ke rumah masing-masing. Hujan semakin deras, disertai angin yang cukup kencang. Pak Salman menggigil. Dia tidak dapat melanjutkan langkahnya untuk mencari pekerjaan. Hujan keparat, umpatnya dalam hati. Dengan tajam dia menatap air hujan yang jatuh dari langit, lalu menatap langit yang kelam sambil sekali-sekali mengumpat. Kali ini dia betul-betul merasa benci pada hujan. Hatinya sangat marah. Tetapi hujan tetaplah hujan. Dia punya aturan sendiri untuk turun ke bumi.
Tadi Pak Salman juga sudah mencoba nimbrung pada para calo bus antarkota untuk ikut membagi rezeki, tapi dengan kasar mereka mengusirnya. Lalu dia juga mencoba ikut mengatur parkir mobil di depan pertokoan Cina, tapi seorang lelaki bertubuh besar dan berwajah berewok segara mengusirnya. Bahkan dia hampir ditempeleng ketika ngotot tetap berada di tempat itu. "Ini lahan gue, wilayah gue! Pergi lu!" bentak lelaki berewok itu, kasar.
Pak Salman marasa seperti orang yang betul-betul terusir dari tanah airnya sendiri. Dia ingat pada anak-anak dan istrinya di rumah. Dia bertambah sedih. Dia pun ingat pada kata-kata Pak Parto yang terakhir: kalian jangan khawatir. Saya yakin, kalian akan segera mendapat pekerjaan yang lebih baik dari pada penarik beca. Di sini banyak tersedia lapangan kerja. Semoga kalian tidak menjadi penarik beca lagi, hidupnya pahit!
Pak Salman sangat benci pada kata-kata itu kini. Dia juga sangat benci pada Pak Parto. Dia merasa tertipu oleh kata-katanya. Dia juga semakin membenci keadaan, membenci Kota Jakarta. Sangat benci. Syukur dia belum membenci negaranya sendiri, sehingga tidak memilih menjadi pemberontak.
Deras hujan agak berkurang. Sekitar rumah tempat Pak Salman berteduh masih tampak sepi. Dia menengok ke dalam rumah itu, juga tampak sangat sepi. Tetapi anehnya pintu rumah itu tidak dikunci, bahkan sedikit terbuka. Dia mengamati isi rumah itu. Tampak barang-barang berharga tergeletak di situ. Ada pesawat TV yang cukup besar, jam dinding, tape recorder , dan yang paling menarik hatinya adalah arloji berwarna emas yang tergeletak di atas meja. Jam itu tentu harganya sangat mahal, pikirnya. Jam itu bagai membisikkan sesuatu ke telinganya.
Pak Salman pun ingat keluarganya yang sebentar lagi akan kelaparan. "Seandainya aku dapat mengambil jam itu dan menjualnya, tentu saat yang mengerikan itu dapat tertunda lebih lama lagi dan aku mempunyai peluang dan ongkos untuk mencari pekerjaan lagi. Dan mungkin dalam jangka waktu itu aku akan mendapat pekerjaan." Pikiran Pak Salman bekerja keras. "Tapi bagaimana cara mengambilnya? Ah mudah sekali. Aku dapat melangkah dengan pelan-pelan ke meja itu, mengambilnya dan memasukkannya ke saku. Ya, jam tangan itu saja, tak usah banyak-banyak. Persetan dengan benda-benda lainnya. Tapi bagaimana nanti kalau ketahuan?" Ia berpikir kembali. "Ah, kenapa tiba-tiba aku ingin jadi maling? Betapa terkutuknya!"
Pak Salman teringat lagi pada anak-anak dan istrinya di rumah, mereka mulai besok pasti sulit untuk mendapatkan sesuap nasi. Dia memandang berkeliling. Masih sepi.
Ia memandang kembali pada arloji berwarna emas di atas meja. Pertentangan dalam batinnya semakin menghebat. Tetapi jam tangan itu semakin kuat mengundangnya.
Pak Salman tiba-tiba sudah berada di depan meja tempat arloji berwarna emas itu tergeletak. Dia memandang ke seluruh penjuru angin. Tidak ada orang lain di ruangan itu. Cepat-cepat dia mengambil arloji berwarna emas dan secara kilat memasukkannya ke saku celananya. Dengan dada berdegup keras dia berbalik untuk cepat-cepat berlalu. Tetapi tiba-tiba pintu kamar depan terbuka. Dua anak muda muncul dan berteriak garang, "Maliiiing!"
Pak Salman kaget dan geragapan. Dia berbalik ke arah dapur, tapi dari sana muncul pula seorang ibu dan dua orang lelaki. Pak Salman betul-betul terkepung. Betapapun dia tidak ingin tertangkap. Dia nekat menabrak dua pemuda tadi, tetapi mereka terlalu perkasa baginya. Tangan Pak Salman tertangkap. Dia berontak dan terpaksa melayangkan tinjunya ke muka pemuda yang menangkap tangannya. Pemuda itu terhoyong-hoyong mundur. Namun tiba-tiba sebuah tinju yang amat keras bersarang di pelipis kirinya, disusul dengan tinju-tinju lainnya. Mata Pak Salman berkunang-kunang.
Secara samar-samar Pak Salman melihat beberapa orang memasuki rumah itu, dan bertambah banyak lagi. Mereka beramai-ramai mengeroyok dan menghajarnya. Untuk selanjutnya dia hanya merasakan pukulan-pukulan semakin gencar menghujani kepala dan tubuhnya. Bukan pukulan-pukulan tinju saja, tapi juga benda-benda keras dan amat keras menghujani tubuhnya. Kemudian dia ambruk. Kepalanya menghantam lantai dengan keras. Pandangannya menjadi gelap. Semakin gelap. Gelap sekali.
*
Di rumah sewanya yang kumuh, Mbok Kasmi gelisah. Sampai jam sepuluh malam suaminya belum pulang. Dia khawatir terjadi apa-apa dengan sang suami. Mungkinkah dia sudah mendapat pekerjaan dan malam ini harus kerja lembur? Syukurlah kalau begitu. Tapi bagaimana kalau dia mengalami kecelakaan di jalan? Atau mungkin dia bunuh diri karena putus asa? Mbok Kasmi semakin gelisah, sampai seseorang mengetuk pintu rumahnya, seorang polisi. Dia semakin khawatir saja.
"Ibu istrinya Pak Salman?" tanya polisi itu setelah duduk di kursi kayu. Mbok Kasmi hanya mengangguk.
"Apa kerja suami Ibu?"
"Menarik beca? Tapi sudah setengah bulan tidak bekerja. Becanya dijual sama yang punya," jawab Mbok Kasmi dengan sorot mata penuh tanda tanya. Polisi itu menatap Mbok Kasmi agak lama.
"Maaf, Bu. Sebenarnya saya tidak tega, tapi ini harus saya katakan pada ibu. Suami ibu meninggal di rumah sakit."
"Ha! A... apa? Suami saya mati? Oh...!"
Dada Mbok Kasmi bagai terpukul godam dengan amat keras. Jiwanya betul-betul terguncang. Pandangannya semakin kabur dan kacau. Kursi kayu yang didudukinya bagai bergoyang hebat. Dia tidak kuat lagi dan ambruk menimpa Pak Polisi. Pingsan!
Jakarta, 1980/2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar